Laman

Selasa, 04 Oktober 2011

PROSEDUR PEMERIKSAAN / PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERHADAP PEJABAT NEGARA

Prosedur pemeriksaan / penyidikan merupakan administrasi yang harus ditempuh untuk melakukan suatu kegiatan pemeriksaan dalam rangkaian tindakan kepolisian, sehingga pemeriksaan yang dilakukan memenuhi syarat yuridis dan administratif.

Adapun prosedur penyidikan meliputi :

prosedur umum berdasarkan KUHAP ( Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.)
Prosedur khusus berdasarakan Undang-undang yang mengaturnya yang ditujukan kepada :
Kepala Daerah / wakil
Anggota MPR,DPR dan DPD
Anggota DPRD
Dewan Gubernur BI
Hakim
Jaksa
Notaris
Kepala Desa

I. PEMERIKSAAN KEPALA DAERAH / ATAU WAKIL KEPALA DAERAH.

Prosedur pemanggilan / penyidikan terhadap Kepala Daerah dan Wakilnya berdasarkan pasal 36 (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 8 tahun 2005 :

(1)Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.

(2)Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh hari) terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

(3)Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis ssuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2).

(4)Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

(5)Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada presiden paling lambat dalam waktu 2 kali 24 jam.
Adapun tata caranya berdasarkan pasal 36 (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden RI, dengan tata cara sebagai berikut :

Penyidik mengajukan surat permohonan persetujuan tertulis untuk memeriksa Kepala Daerah / Wakil melalui Bareskrim Mabes Polri, dengan menyebut status terperiksa sebagai tersangka atau saksi, serta mencantumkan identitas penyidiknya.
Permohonan disertai dengan laporan hasil kemajuan perkara.
Dalam hal terperiksa sebagai saksi, harus menyebutkan siapa tersangkanya.
Sebelum mulai pemeriksaan, terlebih dahulu dokumen asli persetujuan tertulis Presiden diperlihatkan / untuk dibaca terperiksa.

II. PROSEDUR PEMANGGILAN / PENYIDIKAN TERHADAP ANGGOTA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYA (MPR), DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR), DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) BAIK PROVINSI / KABUPATEN / KOTA.

Yang menjadi dasar hukum pemanggilan dan penyidikan sebagaimana tertuang dalam pasal 106 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susunan dan kedudukan MPR. DPR,DPD dan DPRD, bahwa ;

Ayat (1) dalam hal anggota MPR,DPR dan DPD diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan , dan penyidikannya harusmendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Ayat (2) dalam hal seorang DPRD Provinsi diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.
Ayat (3) dalam hal seorang anggota DPRD Kabupaten/Kota diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Gubernur atas nama Menteri dalam negeri.
Ayat (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku apabila anggota MPR, DPR, DPD DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota melakukan tindak pidana Korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.
Ayat (5) setelah tindakan pada ayat (4) dilakukan harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang agar memberikan ijin selambat-lambatnya dalam dua kali 24 jam.
Ayat (6) selama anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menjalani proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan didepan pengadilan, yang bersangkutan tetap menerima hak-hak keuangan dan administrasi sampai dengan adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tata cara pelaksanaanya berdasarkan pasal 106 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 diatas adalah ;

Pemeriksaan sebagai tersangka atau saksi harus dengan persetujuan tertulis Presiden RI.
Pengajuan permohonan kepada Presiden RI dilakukan oleh Kapolri, dengan menyebut status terperiksa, serta identitas penyidiknya.
Permohonan disertai dengan laporan hasil kemajuan.
Setelah memperoleh ijin tertulis dari Presiden RI, pemanggilan terhadap terperiksa dilakukan dengan menyebut persetujuan tertulis Presiden sebagai salah satu dasar.
Sebelum pemeriksaan dokumen asli persetujuan tertulis Presiden diperlihatkan untuk dibaca terperiksa.

III. PROSEDUR PEMANGGILAN / PENYIDIKAN TERHADAP ANGGOTA DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN / KOTA.

Berdasarkan pasal 53 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , disebutkan bahwa ;

1.Ayat (1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari menteri dalam negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRD Provinsi dan dari Gubernur atas nama menteri dalam negeri bagi anggota DPRD Kabupaten / Kota.

2.Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan dalam waktu paling lambat 60 hari semenjak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.

3.Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :

Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

4.Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 kali 24 jam.

Tata caranya berdasarkan pasal 53 (1) tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari :

Menteri dalam negeri atas nama presiden RI bagi DPRD Provinsi.
Gubernur atas nama Menteri dalam negeri bagi DPRD Kabupaten / Kota.

Adapun Prosedur pelaksanaannya sebagai berikut :

Penyidik mengajukan surat permohonan persetujuan tertulis untuk memeriksa dengan menyebutkan status terperiksa sebagai tersangka atau saksi, serta mencantumkan identitas penyidikannya kepada menteri dalam negeri atau Gubernur.
Permohonan disertai dengan laporan kemajuan singkat.
Dalam hal anggota DPRD yang akan diperiksa tersebut statusnya sebagai saksi, dalam surat tersebut harus dicantumkan siapa tersangkanya.
Sebelum mulai pemeriksaan, terlebih dahulu dokumen asli persetujuan tertulis menteri dalam negeri / gubernur diperlihatkan untuk dibaca terperiksa.

IV. PROSEDUR PEMANGGILAN / PENYIDIKAN TERHADAP DEWAN GURBERNUR BANK INDONESIA

Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004, bahwa dalam hal anggota dewan gubernur patut diduga telah melakukan tindak pidana, pemanggilan , permintaan keterangan dan penyidikan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari presiden.

Adapun tata cara berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 ;

Pasal 37 : Dewan Gurbernur BI terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputy senior, dan sekurang-kurangnya 4 atau sebanyak-banyaknya 7 orang deputi-deputi Gubernur.

Pasal 49 : Dalam hal dewan Gubernur diduga telah melakukan Tindak Pidana, pemanggilan, permintaan keterangan dan penyidikan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis Presiden RI.

Tata cara pelaksanaannya sebagai berikut :

Mengajukan permohonan tertulis Presiden RI untuk memanggil sebagai tersangka atau saksi melalui Bareskrim Mabes Polri.
Dalam permohonan dijelaskan dengan singkat perkara apa, siapa tersangka, serta identitas penyidik.
Permohonan dilampiri dengan Laporan Kemajuan.

V. PROSEDUR PEMERIKSAAN REKENING BANK

Bahwa untuk memeriksa rekening bank didasarkan pada Pasal 42 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Juncto Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dimana Rekening yang boleh diperiksa penyidik hanya milik seorang yang sudah dinyatakan statusnya sebagai tersangka. Selanjutnya pemeriksaan rekening tersangka harus dengan ijin Gubernur Bank Indonesia.

Prosedur pelaksanaannya sebagai berikut :

Permohonan diajukan melalui Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, dengan menyebut identitas tersangka, Bank dan nomor rekening yang akan diperiksa, serta identitas penyidik yang akan memeriksa rekening tersebut.
Permohonan dilampiri dengan Laporan Polisi , Berita Acara Pemeriksaan Saksi, Berita Acara Tersangka.

Setelah ijin Gubernur Bank Indonesia diterima, penyidik membuat surat kepada Bank yang dimaksud dengan merujuk surat ijin Gubernur Bank Indonesia, disertai dengan menyebut hal-hal apa yang diminta untuk diperiksa pada rekening tersangka tersebut. Untuk rekening yang diperiksa, terlebih dahulu dilakukan tindakan pemblokiran dengan maksud menghentikan lalu-lintas pada rekening tersebut.

Dari hasil pemeriksaan lalu-lintas rekening dapat ditindak lanjuti dengan penyitaan bila dianggap perlu oleh penyidik..

Selanjutnya tata cara pemblokiran dan penyitaan dilakukan dengan ;

Surat pemblokiran disampaikan oleh penyidik ke Bank dengan tembusan Bank Indonesia yang memuat antara lain tindak pidana yang disangkakan, identitas dan nomor rekening dan atau bukti simpanan serta nama dan alamat kantor Bank.
Pemblokiran dilakukan atas rekening dan atau bukti simpanan yang diduga terkait tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Penyidik dapat menentukan jumlah nominal simpanan yang diblokir untuk disampaikan ke Bank.
Pemblokiran diberikan batas waktu sampai dengan terbitnya surat ijin membuka rahasia bank dari Bank Indonesia dan sampai terlaksananya penyitaan.
Simpanan yang diblokir tetap berada dan ditatausahakan pada bank yang bersangkutan atas nama pemilik rekening atau bukti simpanan.
Setelah diblokir, penyidik harus segera mengajukan permohonan ijin membuka rahasia bank kepada Gubernur Bank Indonesia.
Dalam pertimbangan tertentu, pemblokiran dapat ditindak lanjuti dengan penyitaan.
Simpanan yang disita guna dijadikan barang bukti, tetap berada pada rekening atas nama pemilik rekening / bukti simpanan dan dititipkan kepada Bank dengan status barang sitaan dengan membuat Berita Acara Penitipan.
Barang sitaan yang diserahkan kepada penyidik ke Jaksa Penuntut Umum pada tahap kedua, tetap ditatausahakan pada bank yang bersangkutan atas nama pemilik rekening / bukti simpanan dengan dibuat berita acara penitipan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Hak dan kewajiban yang melekat pada simpanan yang disita merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dana simpanan yang disita.
Khusus terhadap rekening giro milik bank umum yang ditatausahakan pada Bank Indonesia tidak dapat diblokir atau disita karena terkait dengan stabilitas sistem perbankan.
Dokumen asli yang disita penyidik, tetap ditatausahakan pada bank yang bersangkutan dengan membuat berita acara penitipan barang bukti, sedangkan untuk dokumen palsu yang dimiliki bank dapat langsung dilakukan penyitaan.

VI. PROSEDUR PEMERIKSAAN REKENING BANK DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.

Berdasarkan pasal 33 Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Pencucian Uang, Penyidik memiliki wewenang untuk meminta secara langsung kepada kepala kantor Bank setempat untuk membuka rahasia rekening bank setiap orang yang telah dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Tersangka, dalam perkara tindak pidana pencucian uang.

Adapun tata cara pelaksanaannya dengan cara Kapolri / Kapolda membuat surat kepada kepala Bank disertai permintaan hal-hal yang diperlukan dari rekening tersangka yang dilaporkan oleh PPATK. Rekening yang diperiksa terlebih dahulu dilakukan tindakan pemblokiran dengan maksud menghentikan lalu-lintas transaksi pada rekening tersebut.
VII. PENANGKAPAN TERHADAP HAKIM

Pada pasal 26 Undang-undang nomor 8 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum disebutkan bahwa ” Ketua, Wakil ketua dan Hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas perintah jaksa agung setelah mendapat persetujuan Ketua Makamah Agung, kecuali dalam hal :

Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan
Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati,atau
Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

VIII. PENYIDIKAN TERHADAP JAKSA

Dasar hukum penyidikan terhadap jaksa tertuang dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, dalam pasal 8 disebutkan :

Ayat (4)Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan mejunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.

Ayat (5)Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) , Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana,maka : Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan, dan Penahanan terhadap Jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas ijin Jaksa Agung.

Tata cara pelaksanaaanya sebagai berikut :

Penyidik mengajukan surat permohonan ijin tertulis kepada Jaksa Agung melalui Bareskrim Mabes Polri yang selanjutnya ditanda tangani oleh Kapolri untuk melakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana.
Permohonan disertai Laporan Kemajuan (Lapju) singkat dan tindak pidana yang dipersangkakan.
Setelah mendapat ijin maka penyidik dapat melakukan tindakan kepolisian sebagaimana tersebut nomor 1.

IX. PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS

Dasar hukumnya tertuang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Notaris pasal 66 , sebagai berikut :

(1)Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau Hakim dengan pesetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang.




Mengambil Foto Copy Minuta Akta dan / Surat – surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2)Pengambilan Foto copy Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada (1) huruf a dibuat Berita Acara Penyerahan.

Adapun tata cara pelaksanaannya sebagai berikut :

Penyidik mengajukan surat kepada Majelis Pengawas Daerah dengan menyebutkan untuk keperluan apa, apakah untuk mengambil Foto Copy Mituta Akta dan/ surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; ataukah keperluan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta yang dibuatnya atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Dalam permohonan dijelaskan dengan singkat perkara apa, siapa tersangkanya.
Setelah mendapat persetujuan maka penyidik dapat melakukan tindakan kepolisian sebagaimana disebutkan angka 1. diatas.

X. TINDAKAN PENYIDIKAN TERHADAP KEPALA DESA

Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, pasal 23 menyebutkan bahwa :

(1)Tindakan penyidikan terhadap kepala desa dilaksanakan setelah adany persetujuan tertulis dari Bupati atau walikota.

(2)Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada (1) adalah :
Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan Diduga telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.

(3)Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud (2) diberitahukan oleh atasan penyidik kepada Bupati / Walikota paling lama 3 x 24 Jam.

Adapun tata cara pelaksanaannya sebagai berkut :

Penyidik mengajukan srat persetujuan tertulis kepada Bupati / Walikota untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa.
Dalam mengajukan surat persetujuan dijelaskan dengan singkat perkara apa, siapa tersangkanya.
Setelah mendapat persetujuan maka penyidik dapat melakukan tindakan kepolisian sebagaimana disebutkan diatas.

XI. HAL – HAL YANG BERKAITAN DENGAN PROSEDUR PENYIDIKAN PEJABAT NEGARA.

A.Berdasarkan Surat Telegram Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor Polisi ST / 96 /XI/2006 tanggal 1 Nopember 2006 Tentang Tata cara Pemanggilan / Penyidikan terhadap anggota MPR, DPR,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bahwa ijin dari Presiden RI sebagaimana tercantum pada ketentuan diatas tidak diperlukan dalam hal anggota MPR / DPR / DPRD / Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah berstus saksi pelapor atau sebagai saksi korban dalam suatu tindak pidana.

B.Berdasarkan Surat Kepala Badan Reserse Kriminal Nomor Polisi : B/588/DIT-I/IX/2005 / Bareskrim tanggal 27 September 2005, Bahwa setiap mengajukan permohonan ijin kepada presiden RI, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, kelengkapan berkas sebagai lampiran adalah ;




Laporan Polisi
Surat Perintah Penyidikan.
Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan.
Hasil Gelar Perkara.
Resume / Laporan Kemajuan berisi :







a. Kasus Posisi / duduk perkara.

b. Peran Pejabat yang dipanggil / di sidik.

c. Analisa Yuridis dan penerapan pasal yang dilanggar.

d. kerugian yang ditimbulkan (apabila ada).

puisi indahnya cinta

Kurangkai kata indah untuk buatmu tahu
Yang kuucap tak sekedar kata indah
Kuingin kau percaya yang kurasa cinta
Cinta yang indah untuk dirimu yang terindah

Walau kau bersamanya
Meski kau bukan milikku
Dan kutak mungkin menyentuh hatimu
Bagiku kau tetap indah yang terindah

Cinta tak berarti memiliki
Begitu juga dengan semua yang indah
Namun,
Memiliki cinta yang indah adalah anugerah

Jika aku bukan yang kau inginkan
Kukan relakanmu dipeluknya
Menjalani cinta yang indah dengannya
Meski kuterluka.

Kukan terima kenyataan pahit ini
Walau hatiku hancur karena mencintaimu
Mengharap yang indah darimu
Bagiku cinta tetaplah indah

Karena cinta, dua insan dapat menyatu
Menjalani sesuatu yang abadi
Meski cinta yang ku miliki tak kau balas
Cintaku kan selalu indah untukmu

Selasa, 19 Juli 2011

PELAKSANAAN FUNGSI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK

Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik, dari aspek historis di bawah ini, terdapat dua pendekatan; personal dan sistem. Secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam tindakannya terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.
Berdasarkan pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata dalam HAN, karena di sini akan terlihat konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, kualitas dari hubungan pemerintah dengan masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi HAN dapat dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain HAN memuat aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran Basah, bahwa salah satu inti hakikat HAN adalah untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Tulisan dalam makalah ini akan difokuskan pada fungsi HAN baik sebagai norma, instrumen, maupun jaminan perlindungan bagi rakyat.
Identifikasi Masalah
Bagaimana pelaksanaan fungsi-fungsi HAN dalam mewujudkan pemerintahan yang baik ?
Upaya apa yang harus ditempuh untuk meningkatkan pemerintahan yang baik ?
Kerangka Pemikiran
Secara teoretis, Presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (besturen). Penyelenggaraan pemerintahan yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai administrasi negara. Bukan sebagai organ negara.
Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanapa dasar kewenangan. Ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintahan ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi welfare state, seperti halnya Indonesia. Dalam konsepsi welfare state, tugas utama pemerintah adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat.
Secara alamiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan undang-undang dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Pembuatan undang-undang berjalan lambat, sementara persoalan kemasyarakatan berjalan dengan pesat. Jika setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan undang-undang, maka akan banyak persoalan kemasyarakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Oleh karena itu, dalam konsepsi welfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada freies Ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum.
Meskipun pemberian freies Ermessen atau kewenangan bebas (discresionare power) kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dalam konsepsi welfare state, akan tetapi pemberian freies Ermessen ini bukan tanpa masalah. Sebab adanya kewenangan bebas ini berarti terbuka peluang penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara. Atas dasar ini penerapan fungsi Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam konsepsi welfare state merupakan salah satu alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Menurut Philipus M. Hadjon, HAN memiliki tiga fungsi yaitu fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Fungsi normatif menyangkut penormaan kekuasaan memerintah dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. Fungsi instrumental berarti menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah. Adapun fungsi jaminan adalah fungsi untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat.
Eksistensi Pemerintah dalam konsepsi Welfare State Indonesia.
Negara Hukum Indonesia
• Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut :
• Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
• Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
• Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
• Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
• Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
• Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
• Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Apabila kita meneliti UUD 1945, kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).
Esensi dari negara hukum yang berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, isi dari setiap konstitusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, negara merupakan organisasi kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat, agar kekuasaan ini tidak liar maka perlu dikendalikan dengan cara disusun, dibagi dan dibatasi, serta diawasi baik oleh lembaga pengawasan yang mandiri dan merdeka maupun oleh warga masyarakat, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Seandainya unsur jaminan terhadap hak-hak asasi manusia ini ditiadakan dari konstitusi, maka penyususnan, pembagian, pembatasan, dan pengawasan kekuasaan negara tidak diperlukan karena tidak ada lagi yang perlu dijamin dan dilindungi.
Karena esensi dari setiap konstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, maka menuntut adanya kesamaan setiap manusia di depan hukum. Tiadanya kesamaan akan menyebabkan satu pihak merasa lebih tinggi dari pihak lainnya, sehingga akan mengarah pada terjadinya penguasaan pihak yang lebih tinggi kepada yang rendah. Situasi demikian merupakan bentuk awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak manusia, dan ini berarti redaksi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam setiap konstitusi menjadi tidak berarti atau kehilangan makna.
Adanya kesamaan antar manusia dalam suatu negara akan memungkinkan lahirnya partisipasi aktif dari setiap orang. Partisipasi ini penting dalam suatu negara yang memiliki konstitusi, agar isi dari konstitusi sebagai hukum dasar ini merupakan kristalisasi dari keinginan-keinginan dan kehendak dari sebagian besar masyarakat, kalau tidak dapat dikatakan semua masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam suatu negara ini merupakan esensi dari demokrasi.
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945; “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.
Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.
Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :
• Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
• Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
• Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana ter-akhir;
• Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :
• Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
• Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
• Kebebasan beragama dalam arti positip;
• Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
• Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi.
Tindakan Pemerintahan dalam Negara Hukum
Pengertian Tindakan Pemerintahan
Dalam melakukan aktifitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandeli-ngen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam katagori kedua, rechtshandelingen. Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
• Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
• Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
• Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
• Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.
Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi
hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basah, berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.
Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.
Freies Ermessen ini menimbulkan implikasi dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan yang derajatnya di bawah UU, dan droit function atau kewenangan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif. Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan yaitu; Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan; Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum; Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Freies Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies Ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur freies Ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :
• Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
• Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;
• Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
• Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
• Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba;
• Sikap tindak itu dapat dipertanggung jawab baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.
Sumber-sumber Kewenangan Tindakan Pemerintahan
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumbar pada tiga hal, atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara :
Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembantuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah;
Yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.
Sedangkan yang dimaksud delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Adapun pada mandat, di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.
Fungsi-Fungsi Hukum Administrasi Negara
Dalam pengertian umum, menurut Budiono fungsi hukum adalah untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki.
Menurut Sjachran Basah ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut :
• Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
• Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.
• Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
• Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
• Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
Secara spesifik, fungsi HAN dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara
Penentuan norma HAN dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan.28 Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan TUN yang satu dengan yang lain saling berkaitan.29 Pada umumnya ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan HAN hanya memuat norma-norma pokok atau umum, sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan. Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab, yaitu :
Karena keseluruhan hukum TUN itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat UU untuk mengatur seluruhnya dalam UU formal;
Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan de-ngan tiap perubahan-perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat UU dengan mengaturnya dalam suatu UU formal;
Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat UU yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.30
Seperti disebutkan di atas bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih dahulu mencari apakah legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam UU, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan freies Ermessen. Meskipun penggunaan freies Ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu. Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies Ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,31 dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga.32 Di samping itu, pelaksanaan freies Ermessen juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan keterangan singkat ini dapat dikatakan bahwa fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.
Fungsi Instrumental Hukum Administrasi Negara
Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan sebagainya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam negara sekarang ini khususnya yang mengaut type welfare state, pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Administrasi Negara memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, HAN menentukan syarat material dan syarat formal, yaitu sebagai berikut :
Syarat-syarat material :
• Alat pemerintahan yang mem buat keputusan harus berwenang;
• Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan kekeliruan;
• Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur membuat keputusan;
• Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.
Syarat-syarat formal :
• Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
• Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;
• Syarat-syarat berhubung de-ngan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi;
• Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.
Berdasarkan persyaratan yang ditentukan HAN, maka peyelenggarakan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, terutama memberikan perlindungan bagi warga masyarakat.
Fungsi Jaminan Hukum Ad-ministrasi Negara
Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya. Sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri, dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan perkataan lain, melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum.34 Di dalam negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat diarahkan kepada usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dan rakyat, menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musayawarah serta peradilan merupakan sarana terakhir dalam usaha menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat.35 Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Paulus E. Lotulung, sesungguhnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat, yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi perseorangan. Hak dan kewajiban perseorangan bagi warga masyarakat harus diletakan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara dan bangsa kita, yaitu Pancasila.
Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi HAN ini, dapatlah disebutkan bahwa dengan menerapkan fungsi-fungsi HAN ini akan tercipta pemerintahan yang bersih, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies Ermessen, pemerintah memperhatikan asas-asas umum yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ketika pemerintah menciptakan dan menggunakan instrumen yuridis, maka dengan mengikuti ketentuan formal dan material penggunaan instrumen tersebut tidak akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negarapun akan terjamin dengan baik.
Aktualisasi fungsi hukum administrasi negara dalam mewujudkan perintahan yang baik.
Mewujudkan Pemerintahan yang Baik
Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan oleh MPR. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara, yang memiliki fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Seperti telah disebutkan di atas, fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan, dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.
Upaya Meningkatkan Peme-rintahan yang Baik
Penyelenggaraan pemerintahan tidak selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada. Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) maupun tindakan sewenang-wenang (willekeur). Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur; pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan; ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian konkret bagi pihak tertentu.37 Dampak lain dari penyelenggaraan pemerintahan seperti ini adalah tidak terselenggaranya pembangunan dengan baik dan tidak terlaksananya pengaturan dan pelayanan terhadap masyarakat sebagaimana mestinya. Keadaan ini menunjukan penyelenggaraan pemerintahan belum berjalan dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kesimpulan
Pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.
Upaya meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan antara lain dengan pengawasan lembaga peradilan, pengawasan masyarakat, dan pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Saran
Agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik, maka sebaiknya pengawasan lembaga peradilan, masyarakat, dan lembaga ombusdmen dilakukan dengan efektif. Di samping itu, pemerintah sebaiknya memperhatikan dan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van be-horlijk bestuur).
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=10&mnorutisi=11
Iskatrinah SH, Mhum., Dosen Unwiku Purwokerto

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

TINJAUAN SANKSI ADMINISTRASI MENURUT UU. NO. 23 TAHUN 1997
TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh :
Taufiq Nugroho, S.H.

A. Pendahuluan
Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan seperti kepentingan Negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan rakyat maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Penempatan kepentingan itu selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus konflik kepentingan tersebut.
Masalah lingkungan tidak selesai dengan pemberlakuan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih harus diuji dalam pelaksanaannya (uitvoering atau implementation) sebagai bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai.
Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat. Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara serta hukum internasional.
Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningakatan kualitas hidup itu sendiri.
Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering terjadi pacuan pertumbuhan yang seringkali menimbulkan dapat yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa pemerdulikan lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah. Pengelolaan pembangunan yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan dipersyaratkan untuk memperhatikan lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, maka setiap aktivitas dalam pembangunan yang bersentuhan dengan lingkungan hidup, memerlukan suatu standar mengenai Baku Mutu Lingkungan (BML).
Berhubungan dengan hal tersebut, Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa :
"Baku Mutu Lingkungan diperlukan untuk memberikan pedoman terhadap pengelolaan lingkungan secara konkret; dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 14 UUPLH (UU No. 23 Tahun 1997) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)".
Ketentuan ini berbeda dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan : bahwa Baku Mutu Lingkungan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Baku Mutu Lingkungan merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adanya aktivitas atau kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan yang ada, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Pada tingkat tertentu, jika terjadi pencemaran lingkungan, maka hal tersebut depat diklarifikasikan sebagai suatu tindak pidana terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat diproses secara hukum ke pengadilan.
Adanya keinginan masyarakat melalui LSM lingkungan atau perorangan yang diinformasikan melalu media masa untuk membawa pelaku tindak kejahatan lingkungan ke pengadilan, makin memberi alasan agar pelaku tindak kejahatan terhadap lingkungan harus dibuat jera, agar diproses menurut ketentuan hukum yang ada.
Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetaoan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan dami kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan.
Istilah " mutu" dapat menimbulkan pengertian yang ambivalen dan banyak orang yang senang menggunakan istilah "Nilai Ambang Batas". Perbedaan kedua istilah itu adalah bahwa Mutu Lingkungan mempunyai karakter diwajibkan. Dengan demikian, Mutu Lingkungan selalu merupkan Nilai Ambang Batas tetapi tidak semua Nilai Ambang Batas merupakan Mutu Lingkungan selama tidak diwajibkan berdasarkan ketentuan hukum. Karena dari aspek yuridis dan teknis ekologi, fungsi Mutu Lingkungan dalam pengelolaan lingkungan terutama untuk menentukan ada atau tidak ada pencemaran terhadap lingkungan. Untuk menentukan ada atau tidak ada kerusakan lingkungan, UUPLH mengintrodusir istilah Kriteria Kerusakan Lingkungan (KBKL), bagi kegiatan yang mempunyai "dampak besar dan penting" terhadap lingkungan, Mutu Lingkungan dikaitkan lebih jauh dengan prosedur AMDL. Mutu Lingkungan harus tercermin dalam rencana pengelolaan lingkungan (RKL). Mutu Lingkungan dipakai sebagai pedomen bagi PKL suatu kegiatan yang niscaya dituangkan sebagai persyaratan perizinan suatu rencana kegiatan.
Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara dan hukum internasional.

B. Lemahnya Penegakan Hukum Lingkungan
Salah satu penyebab parahnya kondisi lingkungan akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan saat ini adalah lemahnya penegakan hokum lingkungan baik di tingkat pusat maupun daerah. Sudah saatnya penegakan hokum lingkungan yang konsisten merupakan bentuk perlindungan kepada masyarakat dari pencemaran da kerusakan lingkungan. Jumlah perkara pencemaran dan kerusakan lingkungan yang telah di tindaklanjuti melalui upaya penegakan hokum oleh Kementrian LH dalam tahun 2001-2004 mencapai 77 perkara.
Ironisnya, AMDAL yang diharapkan sebagaiperangkat lebijakan yang dipersiapkan untuk mengurangi dampaklingkungan suatu kegiatan sejak tahap perencanaan, dan bertujuan mencegah laju pencemaran dan kerusakan lingkungan belum dapat diharapkan. Untuk melihat sejauh mana penerapan AMDAL dalam otonomi daerah, Kementrian LH telah mengevaluasi terhadap 75 domumen AMDAL.
Evaluasi ini menunjukkan sebagian domumen AMDAL gagal menyajikan substansi esensial yang harus ada didalamnya dan tidak konsisten dalam mengevaluasi dampak yang dijaki. Sebanyak 68% domumen AMDAL tersebut dikategorikan jelek. Hanya sebagian kecil dokumen yang menunjukkan mutunya bagus, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Hasil evaluasi tersebut menunjukkan, meskipun secara kelembagaan institusi AMDAL telah mencapai tahap mapan, tetapi masih memerlukan perbaikan terus-menerus agar lebih meningkatkan peranan AMDAL dalam menjaga lingkunganhidup.Fenomena yang terjadi saat ini Pemerintah Daerah berlomba-lomba “menjual” kekayaan alamnya dengan alas an untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

C. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi
Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
1. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila : Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup.
Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan perubahan yang bersifat positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, maka perlu diusahakan peningkatan dampak positif dan mengurangi dampak negatif.
Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan kewenagan atribusi (Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang melekat pada badan-badan pemerintah yang diperoleh dari Udang-Undang. Sehingga badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian memilii kewenangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997.
Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang meiliki legitimasi (kewenangan bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Dalam hal pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus oleh pemerintah.
Sanksi administrasi merupakan kewenangan pemerintah provinsi yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten / Kota, hal ini dapat tercantum dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi :
Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan / atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.

Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati / Walikotamadya / kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
Pihak ke-tiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Peksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didahulukan dengan surat perintah dari pejabat berwenang.
Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran uang tertentu.
Kemampuan daya dukung lingkungan hidup terdapat beban pencemaran mempunyai keterbatasan. Apabila kondisi ini dibiarkan akan berdampak terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu penegakan hukum adminitrasi oleh lembaga pemerintah harus dilaksanakan.

Sanksi-sanksi hukum adminitrasi yang khas
Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem tersebut. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan pertanggungjawaban jika dia lalai dalam menjalankan kewajibannya.
Teerdapat beberapa sanksi khas yang terkadang digunakan pemerintah dalam penegakan hokum lingkungan, diantaranya Bestuursdwang. Bestuursdwang (paksaan pemerintahan) diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi). Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya "dapat diakhiri" atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).

C. Kesimpulan
Masyarakat Indonesia dalam kenyataannya lebih akrab dengan lingkungan alamnya daripada penerapan teknologi. Perkembangan teknologi yang mengelola sumber daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya sehingga tetap bermanfaat bagi generasi-generasi mendatang. Dengan memperhatikan kualitas lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai komoditi masyarakat setempat yang tersubsistem.
Hanya tindakan manusia yang membuat seolah-olah mampu menguasai alam sehingga hampir semua lingkungan hidup sudah tersentuh oleh kehidupan manusia.
Penegakkan hukum lingkungan dapat dilakukan dengan pemberian sanksi yang berupa sanksi administrasi. Sanksi administrasi menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diberikan oleh Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I terhadap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan /atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.
Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati pemerintrah sebagai bahan refleksi. Pertama, kita telah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hodup sebagai Umbrella Act bagi peraturan yang lain yang juga mengatur mengenai lingkungan, yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat sebagai pemilik tanah dan air. Namunmasalah utama pengelolaan lingkungan hidup tidak pernah ada niatan yang sungguh-sungguh untuk peduli masalah lingkungan.
Kedua, perlindungan lingkungan masih minoritas ketimbang semangat mengeksploitasi. Ini dapat diliohat dari seperangkat lingkungan tentang sumberdaya alam, yang diterbitkan sekedar untuk mengatur eksploitasi ktimbang konservasi.


DAFTAR PUSTAKA

Azhar, 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, palembang, Universitas Sriwijaya.
Ayu, KRH I Gusti. 2005. Upaya Penegakan Hukum Lingkungan. Harian Solopos, 5 Juni 2005.
Boehmer-Cristiansen S. 1994. Policy and Environmental Management. Journal of Environmental Planning and Management. 37 (1).
Eggi Sudjana Riyanto, 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektig Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadjon, Philipus. 1998. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta, UGM Press.
Kartawinata. 1990. Bentuk-bentuk Eksploitasi Sumber daya ALam. Laporan Peneloitian BPTP-DAS Surakarta.
Nabil Makarim, 2003. Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.
Siti Sundari Rangkuti, 2003. Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.

Sumber Lain;
Kementrian Lingkungan Hidup RI, HImpunan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2002
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hukum yang Demokratis

MEMPUNYAI HUKUM YANG DEMOKRATIS

“Negara hukum yang dilahirkan tahun 1945 adalah suatu proyek besar.
Sebagai proyek ia tidak begitu saja serta merta menjadi,
melainkan sesuatu yang terus menerus perlu dibangun, mewujud nyata.”
(Satjipto Rahardjo, 2007: xvi)


Demokrasi acapkali menjadi bahan perbincangan yang tak terpisah manakala kita sedang asyik membicarakan hal-hal yang terkait dengan negara. Apalagi membicarakan tentang tujuan negara kita, Indonesia. Meski dalam pembukaan UUD 1945 tidak ditemukan kata demokrasi, secara subtansi, nilai-nilai yang diharapkan oleh demokrasi juga tertuang di sana. Di mana pada pangkal pokok tujuan negara kita (yang sering disejajarkan dengan cita-cita bangsa) adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Mungkin sebagian besar orang di Indonesia saat ini sangsi bahwa hukum ada pengaruhnya terhadap perubahan sosial. Malah sebaliknya, hukum lebih sering dianggap menguntungkan status quo (Rahardjo. 2007: 115). Cuma buat melesetarikan kepentingan dan kelompok yang sedang berkuasa saja. Mereka yang percaya akan hal ini, memang mempunyai alasan teoritik maupun empirik. Penganut Marxist klasik sering menyatakan bahwa hukum hanyalah alat kaum berkuasa, kalau di depan mata kita berulang kali disuguhkan peristiwa-peristiwa nyata di mana hukum dan aparat penegaknya sewenang-wenang terhadap kelompok yang lemah. Perda-perda lebih banyak menggusur daripada memberi tempat hidup bagi keluarga-keluarga yang sudah terjepit hidupnya di kota-kota besar. Aparat hukum lebih garang kepada tukang becak, pedagang kaki lima, perempuan dan anak-anak di jalanan, tapi justru lemah dihadapan pengusaha, anak mantan presiden, dan birokrat pemeras.
Sementara, meyakini bahwa hukum sama sekali tak berperan untuk mengubah nasib banyak orang lemah juga bisa menyesatkan, dan malah menguntungkan yang sedang berkuasa juga. Hukum sebagai sarana memang punya keterbatasan, tapi juga punya kekuatan. Contoh di atas sebetulnya secara tak langsung membuktikan, kalau hukum ada pengaruhnya pada perubahan sosial. Masyarakat sejatinya selalu berubah, tidak statis. Hukum, baik yang tertulis maupun tidak, cenderung statis.

Demokrasi
Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi: pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Untuk pemahaman yang terakhir ini disebut juga sebagai procedural democracy. Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ungkapan normatif tersebut, biasanya, diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing Negara, misalnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagi pemerintahan Republik Indonesia. (Gaffar. 2006: 3)
Indonesia sudah mengalami empat kali perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar-nya sampai tahun 2002. perubahan itu tentunya juga akan berimbas pada berubahnya sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada tatanan politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Akan tetapi, meskipun terjadi perubahan secara fundamental, namun semangat dan nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 tetap terjaga, paling tidak tercermin dalam arahan bahwa hukum harus dibentuk secara demokratis dan aspiratif, isinya menjamin perikemanusiaan, dan ditujukan bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. (BPHN. 2006: 61)
Demokrasi yang sudah mahal akan menjadi lebih mahal bila hukum yang digunakan untuk menjaganya hanya menjadi institusi yang berkutat dengan peraturan dan logika saja. Artinya, hukum dan demokrasi mempunyai hubungan yang cukup erat, dapat diibaratkan dua sisi sekeping mata uang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukumnya. (Mahfud, MD. 1999: 53)

Living Law
Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang membeku dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa. (Rahardjo. 2007: 10-11). Hukum nasional yang nota bene berwatak modern dan liberal “membunuh” hukum adat yang hidup (living law) dalam interaksi masyarakat.
Kualitas penegakan hukum itu beda-beda. Konon seorang pemimpin China memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya adalah untuk dirinya, manakala ia melakukan korupsi. Sementara dibanyak negara ada yang melakukan penegakan hukum secara lunak dan bahkan bisa dikomersilkan dengan istilah yang lebih kasar adalah jual beli hukum.
Di Indonesia, hukum oleh beberapa kalangan, dianggap sebuah virus yang membuat masyarakat berupaya sekuat tenaga untuk menghindar. Dapat dilihat dengan terbitnya peraturan baru pasti bukan kabar gembira yang diterima sukacita. Pembentuknya saja tidak antusias. Dan kalau digugat malah berkilah: ketentuan semacam itu terpaksa dibuat. Padahal tidak pernah ada inspirasi dalam aksi terpaksa. Jadi, salah besar kalau pemimpin negara berharap rakyat akan lekas bergerak asal peraturan dibuat. Sebab, tindakan sadar butuh alasan, bukan sekadar rangkaian perintah dan pembatasan.
Hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking) untuk mencapai tujuannya yang paling tinggi. Karl Ranner menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable”. (http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html)
Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau di kala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Dengan kata lain bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Pandangan ini adalah pandangan yang menolak logosentris dengan berpaling pada antoposentis yang humanis. Dengan memperhatikan masyarakat, maka hukum akan terus hidup (living) dalam masyarakat. Dapat dibilang hukum itu menjadi progresif.

Hukum Progresif dan Hukum yang Demokratis
Prof. Satjipto Rahardjo yang mulai menggulirkan Hukum Progresif sejak tahun 2002 menyatakan bahwa Hukum yang Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu.
Prof Tjip secara ringkas memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. (Rahardjo. Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan hukum progresif karena dia dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah kejumudan positivisme hukum. Kalangan positivisme hukum diam-diam memperhitungkan Hukum Progresif sebagai benih yang berangsur siap di semai di lahan sosial, yang akan merepotkan kalangan yang memposisikan hukum sebagai mesin yang mekanistik, rasional dan berkepastian. Sejak kira-kira tahun 2002 pula gairah menseriusi Hukum Progresif muncul, namun belum membeku menjadi konsep yang dapat diterapkan menjadi tujuan. Sepanjang ini hanya digunakan sebagai argumen dan perasaan kepedulian (senziting concept). Pendekatan ini memang terbuka (inklusif) tapi bila akan mengeras menjadi barikade tentu memerlukan agensi yang jelas, paradigma dan pola pengembangan aksional, barangkali dengan institusional yang kultural.
Dalam situasi "normal" saja hukum banyak dikenal sebagai institusi yang mahal, apalagi dalam keadaan krisis dan keterpurukan bangsa sekarang. Ia menjadi mahal, karena hukum modern banyak bertumpu pada prosedur, birokrasi dan sebagainya. Belum lagi ditambahkan sifat liberal dan kapitalistik hukum modern. Pada titik inilah terjadi banyak keluhan, hukum sudah menjadi obyek bisnis. Hukum tidak lagi bisa diandalkan menjadi tempat untuk mencari dan menemukan keadilan.
Hukum tidak boleh dibiarkan menjadi ranah esoterik, yang hanya boleh dan bisa dimasuki para lawyer sekalian pikirannya yang spesialistis, yang biasanya berkutat pada "peraturan dan logika". Hingga kini, cara berpikir dan menjalankan hukum seperti itu masih dominan, yang dikenal sebagai analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Dengan berpikir seperti itu praktek hukum hanya dibatasi ranah peraturan dan logika peraturan. Tidak! Hukum juga perlu ditarik keluar memasuki ranah kehidupan sehari-hari dengan sekalian harapan, keresahan, dan kebutuhan masyarakat. Singkat kata, hukum tidak boleh hanya menjadi permainan kata-kata, tetapi perlu bermakna sosial.
Hukum yang anti-progresif tidak berpikir sejauh itu. Mereka hanya berpikir, supremasi hukum sudah diwujudkan dengan memperlihatkan kesibukan menerapkan peraturan dengan menggunakan logika. Tidak bisa! Bila ini yang terjadi, tidak ada gunanya kita mempromosikan supremasi hukum, karena hukum hanya akan menjadi permainan para lawyer dan elite politik, jauh dari memberi kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan kepada rakyat. Bahkan lebih dari itu supremasi hukum menjadi safe haven, tempat berlindung yang aman bagi para koruptor. Dan itu sudah terjadi melalui tontonan tentang bagaimana hukum sulit menangani korupsi di negeri ini.
Hukum tidak ingin hanya menjadi monopoli para lawyer, tetapi ingin bersosialisasi, berjabatan tangan dengan rakyat, ingin memberi jasa sosial kepada rakyatnya. Ia ingin bermakna mengantarkan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya (bringing justice to the people). Orang Indonesia toh masih percaya kepada hukum. Orang masih memberikan kesempatan kepada hukum untuk menata dan mengatur bangsa dan negara ini. Polisi, jaksa, hakim masih menjalankan tugasnya sehari-hari.
Edmund Burke: “di segala formasi perintah-kuasa, rakyatlah pembuat hukumnya yang sejati”. Pada ideal itu, hukum dan rakyat bukan saja karib, malah, hanya terpilah garis-miring. Sehingga menyusun aturan tak ubahnya menenun-ikat. Ia mewajibkan keterampilan dan ketekunan. Juga menuntut habis olah pikiran, hati dan semangat juang. Kain yang dihasilkan, karenanya, melampaui fungsi minimumnya sebagai pelapis ketelanjangan. Ia mengutarakan martabat pemakainya, di atas suguhan keanggunan dan kenyamanan. Kerja menata adalah kerja budaya, menginspirasi adalah tugas kebudayaan. (http://perancangprogresif. blogspot.com/2007/01/legislasi-sebagai-kerja-kebudaya an.html).
Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari dan perbuatannya di dalam hukum. Faktor manusia dalam hukum sudah terlalu lama diabaikan untuk member tempat kepada hukum. Ide penegakan hukum progresif adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu hukum. Hukum berfungsi memberi panduan dan tidak membelenggu. Manusia-manusialah yang berperan lebih penting. (Rahardjo. 2007: xix).
Dengan demikian, hukum harus dibentuk secara demokratis dan aspiratif, isinya menjamin perikemanusiaan, dan ditujukan bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. Para pembentuknyapun harus memperhatikan secara cermat kebutuhan masyarakat, memperhatikan hukum yang memang sudah ada di masyarakat. Sehingga, selain hukum yang akan terlahir adalah living law, juga hukum yang demokratis di negara hukum Indonesia ini akan segera mewujud nyata.




Referensi
Afan Gaffar. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 1997. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama
Miriam Budiardjo. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Moh. Mahfud, MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media
Satjipto Rahardjo. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Soerjono Soekanto. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Tim ICCE UIN Jakarta. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media
Dep. Huk.HAM. RI. 2006. Kumpulan Hasil Seminar: Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional

Internet
http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/20/opini/1164182.htm
http://perancangprogresif.blogspot.com/2007/01/legislasi-sebagai-kerja-kebudaya an.html

Pengaruh Positivisme Dalam Pemikiran Hukum (Telaah Terhadap Aliran Positivisme Hukum Analitis John Austin)

PENDAHULUAN
Pendapat yang menyatakan bahwa induk dari segala macam ilmu pengetahuan adalah Filsafat merupakan argumen yang hampir diterima oleh semua kalangan. Hal ini terbukti dengan adanya hubungan yang erat antara ilmu pengetahuan tertentu dengan filsafat tertentu, seperti filsafat hukum yang melahirkan ilmu hukum dan seterusnya.
Filsafat hukum adalah refleksi teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang hukum.[1] Filsafat hukum adalah filsafat atau bagian dari filsafat yang mengarahkan (memusatkan) refleksinya terhadap hukum atau gejala hukum.
Sebagai refleksi kefilsafatan, filsafat hukum tidak ditujukan untuk mempersoalkan hukum positif[2] tertentu, melainkan merefleksi hukum dalam keumumannya atau hukum sebagai demikian (law as such). Filsafat hukum berusaha mengungkapkan hakikat hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum sejauh yang mampu dijangkau oleh akal budi manusia.[3]
Bila merujuk pada sejarah pemikiran barat, seperti disebutkan oleh Scheltens[4] , filsafat merupakan bentuk tertua dari pemikiran rasional yang bersifat pengertian dan dapat mempertanggungjawabkan dirinya sendiri. Boleh dikatakan meliputi seluruh daerah pemikiran manusia, yang merupakan keseluruhan yang hampir-hampir tidak dibedakan. Pada perkembangan berbagai pengetahuan menyadari obyek dan metodenya sendiri, bahkan mengabsolutkan diri, yang lambat laun memisahkan diri dari filsafat. Lebih lanjut Scheltens menyebutkan bahwa para ilmuan berputus arang dengan filsafat, menganggap filsafat sama sekali tidak diperlukan, tidak bermanfaat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terpukau oleh keberhasilan metodenya sendiri dan arena kejelasan serta ketetapan lapangan telaah sendiri, orang lalu menghapus filsafat, dengan keyakinan bahwa mulai sekarang hasil-hasil berbagai ilmu pengetahuan pasti dapat menggantikan dan mengabaikan filsafat.
Kecenderungan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, mendapat dukungan dari gagasan tiga tahap August Comte.[5] Menurutnya sejarah pemikiran manusia berevolusi dalam tiga tahap; tahap teologis (mistis) dimana manusia memecahkan berbagai persoalan dengan meminta bantuan kepada Tuhan atau dewa-dewa, yang tidak terjangkau oleh panca indera; tahap falsafi dimana pada tahap ini hakekat benda-benda merupakan keterangan terakhir dari semua; dan tahap positivis, tahap dimana dunia fakta yang dapat diamati dengan panca indera merupakan satu-satunya obyek pengetahuan manusia. Pada tahap terakhir inilah dunia Tuhan dan dunia filsafat telah ditinggalkan.
Tulisan sederhana ini tidak bermaksud untuk membahas berbagai persoalan tersebut, hanya untuk mencari jawaban bagaimana pengaruh positivisme dalam pemikiran hukum khususnya telaah terhadap positivisme analitis John Austin.
ANALISIS
Filsafat hukum mencari hakekat dari pada hukum, yang menyelidiki kaedah hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai[6] . Dimana ilmu pengetahuan hukum berakhir, disanalah mulai filsafat hukum; ia mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dalam ilmu pengetahuan[7] .
Bicara mengenai aliran positivisme, bahwa aliran ini sama tuanya dengan filsafat. Namun baru berkembang pesat pada abad ke 19 tatkala empirisme mendominasi pemikiran. Positivisme lahir dan berkembang di bawah naungan empirisme[8] . Artinya antara empirisme dan positivisme tidak dapat dipisahkan.
Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat[9] .
Di dalam aliran positivisme hukum dikenal dua sub aliran yaitu :
Aliran hukum yang analisis, pendasarnya adalah John Austin
Aliran hukum positif yang murni, didepelopori oleh Hans Kelsen.
Dalam tulisan ini sebagaimana dinyatakan terdahulu, memfokuskan pada aliran hukum positif yang analitis oleh John Austin. Positivisme yang dirintis John Austin, yang diberi nama Analytical Judisprudence, dekat sekali dengan mazhab hukum umum. Austin menggunakan metode analisa saja. Melalui analisa sistem-sistem hukum tertentu Austin ingin sampai pada suatu ide umum tentang hukum.
Berdasarkan metodenya yang empiris belaka, Austin sampai pada pengertian tentang Negara, yang menurutnya berlaku secara mutlak. Negara dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh orang-orang dalam wilayah tertentu. Negara-negara timbul dan dipertahankan, oleh sebab kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan mentaati pemerintah. Bila kebiasaan itu berhenti maka sudah tidak terdapat negara lagi. Terdapat bermacam-macam alasan untuk mentaati pemerintah. Ada orang yang mentaati oleh sebab mereka berpegang teguh pada prasangka bahwa pemerintah selalu harus ditaati. Sementara alasan lain karena takut akan kekacauan, bila negara dirombak. Semuanya ini dipastikan dalam pengalaman. Nilai-nilainya tidak dipersoalkan. Dapat dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber hukum. Di atas yang berkuasa hukum tidak ditemukan. Diungkapkan oleh Austin bahwa tiap-tiap Undang-undang positif ditentukan secara langsung atau secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota-anggota dari suatu masyarakat politik yang berdaulat, dalam mana pembentuk hukum adalah yang tertinggi. Dengan ketentuan ini Austin tidak menyangkal adanya norma-norma hukum ilahi, norma-norma moral dan juga hukum internasional. Dipastikannya saja, bahwa semua prinsip tersebut tidak mampu untuk meneguhkan atau meniadakan hukum yang berlaku dalam suatu negara[10] .
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai “a command of the Lawgiver” (perintah dari pembentuk Undang-undang atau penguasa), yaitu : suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk.
Selanjutnya John Austin membagi hukum itu atas :
1. Hukum ciptaan Tuhan, dan
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari;
a. hukum dalam arti yang sebenarnya yaitu yang disebut juga sebagai hukum positif, terdiri dari:
- hukum yang dibuat oleh penguasa, seperti Undang undang, Peraturan pemerintah dan lain-lain.
- hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contohnya: hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian, hak kurator terhadap badan/orang dalam curatele.
b. hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang. Contohnya: ketentuan-ketentuan yang dibuat perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya.
Terdapat empat unsur penting menurut John Austin untuk dinamakan sebagai hukum, yaitu:
a. perintah
b. sanksi
c. kewajiban
d. kedaulatan
Adapun keempat unsur tersebut kaitannya satu dengan yang lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
Unsur perintah ini berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah ini tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a souvereign body of persons).
Buah pikir John Austin ini tertuang dalam kedua bukunya yang terkenal, yaitu: The Province of Jurisprudence Determined dan Lecture on Jurisprudence.[11]
Aliran positivisme hukum yang analitis yang dipelopori oleh John Austin tersebut pada sekitar abad ke-19 dan dalam bagian pertama abad ke-20, tampaknya menguasai pemikiran hukum di Barat, yang kemudian juga di dasarkan pada filsafat Yunani. Dimana cukup jelas peranan aliran positivisme terutama yang analitis tersebut bahwa penerapan hukumnya dilakukan oleh pihak penguasa. Dengan adanya identifikasi hukum yang aplikasinya diterapkan dengan undang-undang akan menjamin bahwa setiap individu dapat mengetahui dengan pasti apa saja perbuatannya yang boleh dilakukan dan apa saja perbuatannya yang tidak boleh dilakukan. Bahkan negarapun kemudian akan bertindak dengan tegas dan konsekuen sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan diputuskan, dalam melaksanakan keadilan menurut ketentuan negara. Begitu pula dengan penerapan hukum melalui ketentuan-ketentuannya dan peraturan-peraturannya yang ada yang telah dibuat harus dilaksanakan sesuai dengan segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Austin adalah tokoh pertama yang memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahasa hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama. Tanpa memperdulikan baik atau buruknya hukum itu, diterima atau tidak oleh masyarakat.
Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar. Semua hukum positif adalah perintah. Perintah dari yang berdaulat atau command of sovereign atau command of law-giver.
Pemegang kedaulatan tidak terikat baik oleh peraturan yang dibuatnya sendiri, maupun oleh asas-asas yang berasal dari atas (moral dan agama). Masalah kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari hukum positif adalah bersifat pra-legal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau sosiologi) dan hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataannya[12] .
Namun disamping kebaikan-kebaikan yang ada dan dikemukakan oleh Aliran Positivisme yang Analitis tersebut sudah, sudah barang tentu terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaran-ajarannya yang kurang sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakatnya yang hidup dan berdiam dalam masa tersebut. Apabila dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran Positivisme yang Analitis tersebut adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang-undang tersebut. Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan ketentuan tersebut telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan dalam masyarakat dan juga secara langsung hakim akan menjadi terikat pada Undang-undang yang telah ditetapkan tersebut.
Peraturan perundang-undangan juga memiliki kelemahan/ kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:
1. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.
2. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum (Bagir Manan. 1992:8)
Dalam kaitannya dengan identifikasi Hukum dan Undang-undang yang demikian kuatnya dilakukan oleh pihak penguasa dan pemerintah, kemudian pada akhirnya dapat saja terhadap Ketentuan Hukum dan Undang-undang tersebut disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang akan menguasai negara secara mutlak dan absolut sesuai dengan keinginannya yang ada pada masa itu. Dimana kemudian pihak penguasa dalam negara dapat menggunakan ketentuan hukum dan Undang-undang untuk memberikan legitimasi kepada tindakan-tindakan mereka yang sebenarnya, dimana menurut perasaan hukum masyarakat tindakan tersebut adalah merupakan tindakan yang tidak bermoral dan kriminal serta menjadi kejam. Sehingga kemudian semua-semua ketentuan dan kehendak yang dikeluarkan oleh perintah pribadi penguasa dapat dijadikan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakatnya, dan kemudian individu-individu yang ada dalam lingkup masyarakat akan berada pada posisi yang dilematis, dimana disatu pihak hukum dan ketentuan dari penguasa tidak dapat dipertahankan secara konsekuen, apabila ketentuan hukum dan perundang-undangan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk menindas dari ketidak adilan.
Pendapat yang menyatakan bahwa jika undang-undang telah tersedia, terkodifikasi atau fragmentaris maka sudahlah cukup sarana perundang-undangan untuk diandalkan buat menindak setiap pelanggaran ataupun untuk melindungi kepentingan dalam masyarakat. Kurang diperhatikan dan disadari, bahwa pada aturan hukum yang dianggap mendekati keadilan harus dipenuhi syarat bahwa hukum harus mampu mencerminkan tuntutan hati nurani masyarakat khususnya perasaan keadilan mereka.
Telah terjadi pergeseran prinsip dan konsepsi dari Negara Hukum menjadi negara Undang-undang yang meletakkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah sebagai ukuran kebenaran. Di dalam undang-undang seperti ini setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi pembenaran dengan perbuatan undang-undang melalui penggunaan atribusi kewenangan sehingga hukum ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak positivist – instrumentalistik.
Dalam ajaran Austin dikatakan bahwa hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Dengan sifat tetap dan tertutup dari hukum tersebut, maka hukum pada masa itu tidak menerima perkembangan dari pihak manapun sekalipun perkembangan tersebut berasal dari dalam masyarakat lingkup negaranya, akibatnya hukum tidak mengenal dispensasi dan penyimpangan yang dianggap oleh masyarakat setempat tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa setiap hukum harus selalu dipatuhi, oleh karena kadang-kadang hukum pun memberikan dispensasi bagi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sepanjang ketentuan tersebut tidak atau bukan merupakan suatu kejahatan atau delik. Terutama dalam ketentuan hukum yang bersifat privat (terutama dalam hal pembuatan perjanjian diantara pihak-pihak), bahwa ketentuan hukum yang dibuat biasanya tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban, kesusilaan dan kepatutan. Dengan demikian, masalah utamanya adalah bagaimana mengusahakan agar warga-warga masyarakat secara maksimal dapat mematuhi ketentuan hukum tanpa menterapkan paksaan atau kekerasan. Jadi secara sederhana dapat dikatakan, bahwa yang harus diusahakan adalah peraturan-peraturan yang sifatnya tertulis, baik, kewibawaan petugas dan fasilitas pendukung yang cukup, walaupun secara nyata tidaklah dapat dikatakan sebagai hal yang sederhana.
Terhadap ajaran dari Austin yang menyatakan tentang hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yakni hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, bahwa dari ketentuan tersebut jelas terlihat, meskipun hukum disini dapat saja dibuat atau ditetapkan bukan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang, akan tetapi tetap keberadaan dari hukum tersebut pada akhirnya tidak diakui oleh pihak penguasa. Karena konsepnya jelas bahwa hukum tersebut diklasifikasikan sebagai hukum dalam arti yang tidak sebenarnya. Dengan demikian, tetap saja ajaran dari Austin tersebut tidak dapat memberikan tempat bagi masyarakat, berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dianut sehingga kemungkinan terbentuk menjadi suatu aturan yang lebih dihormati dalam masyarakat yang ada menjadi tidak berdaya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa dari kehidupan bersama manusia yang kemudian mengadakan hubungan dan saling berinterksi antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan tercipta hukum. Baik negara maupun hukum timbul dari kehidupan manusia karena keinginan hati dari masing-masing individu untuk memperoleh ketertiban. Akan tetapi konsep yang seperti ini tidak tampak pada ajaran positivisme yang analitis. Dengan adanya hukum dalam arti yang absolut dan mutlak dari konsekuensi aliran positivisme yang analitik ini, karena makna dari hukum yang dibuat oleh manusia tersebut akan menjadi suatu bentuk dari perintah dan ketentuan yang mutlak yang berasal dari penguasa menjadi suatu keharusan bagi masing-masing individu untuk menjalankannya dengan suka atau tidak suka ataupun mau dan tidak mau. Masyarakat diwajibkan untuk menjalankan dengan sepenuh hati sehingga kemungkinan untuk terbentuknya suatu rezim penguasa yang otoriter dari negara yang menganut ajaran ini akan tercipta dengan mudah sekali.
PENUTUP
Sebagai penutup dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa aliran hukum positif yang analitis mempunyai suatu kekuatan yakni aliran ini banyak dianut oleh para pemikir hukum di Barat di abad ke 19 dan awal abad ke-20. keberhasilan dari aliran ini terlihat pada bentuk kepastian hukum yang benar-benar terjamin pada masing-masing negara yang menganutnya. Akan tetapi dari ajaran tersebut yang telah berkembang pada konsep para pemikir di Barat, ajaran-ajran dari hukum positif yang analitis ini juga mempunyai banyak kelemahan di sana-sini. Adapun titik kelemahannya yang pokok, bahwa aliran hukum positif yang analitis itu cenderung membuat suatu kekuatan dari penguasa untuk membentuk suatu pemerintahan absolut. Hal ini disebabkan karena adanya empat unsure penting dari ajaran John Austin untuk dapat dinamakan hukum, yang di dalamnya terdiri dari perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sehingga dengan empat unsur penting dari hukum tersebut membuat para penguasa yang mebentuk ketentuan hukum dan undang-undang menjadi suatu keputusan yang mutlak harus dilaksanakan tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memberikan masukan-masukan yang berkembang dan tumbuh dari dalam masyarakatnya sendiri. Semua ketentuan hukum dan undang-undang yang terbentuk menjadi suatu perintah dan kewajiban yang harus dijalankan dan ditaati, kemudian mempunyai sanksi yang mengikat para pelaksana hukum menjadi secara langsung terikat karenanya. Kemudian yang terakhir bahwa semua pembuat ketentuan hukum dan undang-undang yang dalam hal ini adalah pihak penguasa hanya dapat terlaksana jika pihak penguasa sebagai pihak yang memerintah tersebut merupakan pihak yang berdaulat. Dari ketentuan tersebut dapat dianalisa bahwa pihak penguasa ataupun pihak pemerintah yang berdaulat sebagai pembentuk ketentuan hukum dan undang-undang sebetulnya tidak perlu dipertegas lagi, karena jelas suatu Negara yang telah memiliki pemeritahan sendiri, rakyat sendiri dan wilayah sendiri tentunya sudah merupakan sesuatu (dalam hal ini dapat disebut Negara) yang dianggap berdaulat atau memiliki kedaulatan sendiri, dan juga sebenarnya dengan telah adanya kedaulatan yang merupakan bagian dari suatu negara yang tidak dapat dipisahkan, maka kedaulatan sudah merupakan bagian dari bentuk dan sistem politik pemerintahan dalam negara itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Armico-Bandung, 1992.
Bagir Manan Dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1993.
Bernard Arif Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan lmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia), Mandar Maju Bandung, 2000.
Hendry P. Panggabean, Fungsi MA Dalam Praktik Sehari-hari, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
J.J. H. Bruggink, Alih bahasa Arif Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum itu, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
M. Solly Lubis, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Indonesia, 1998.
Ridwan, Pengaruh Positivisme dalam Pemikiran Hukum (Studi Kritis atas Aliran Legalisme-Positivisme Hukum), Jurnal Magister Hukum, Vol.2 No.1 Februari 2000.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1997.
[1] Lili Rasjidi, dalam Bernard Arif Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan lmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia), Mandar Maju Bandung, 2000, hlm.119.
[2] Hukum positif adalah ialah terjemahan dari ius positum dalam bahasa latin, secara harfiah berarti hukum yang ditetapkan (gesteld recht). Jadi, hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut stellig recht. Lihat J.J. H. Bruggink, Alih bahasa Arif Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm 142.
[3] Ibid
[4] Scheltens, dalam Ridwan, Pengaruh Positivisme dalam Pemikiran Hukum (Studi Kritis atas Aliran Legalisme-Positivisme Hukum), Jurnal Magister Hukum, Vol.2 No.1 Februari 2000, hlm. 41.
[5] Ibid, hlm.42.
[6] Soetikno, dalam Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.1.
[7] Lili Rasjidi, ibid, hlm.3.
[8] Muh. Bagir Shadr, dikutip oleh Ridwan, Op cit. hlm. 56.
[9] Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum. Armico-Bandung, 1992. hlm. 79.
[10] Dikutip dari Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1997. hlm. 137-138.
[11] Dikutip dari: Lili Rasjid; Op cit; hlm. 42-44
[12] Dikutip dari Achmad Roestandi, Op cit. hlm. 81
Posted by Hukum Tata Negara Indonesia at 11:14:00 PM
Labels: Arsip Tulisan