Laman

Selasa, 19 Juli 2011

PELAKSANAAN FUNGSI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK

Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik, dari aspek historis di bawah ini, terdapat dua pendekatan; personal dan sistem. Secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam tindakannya terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.
Berdasarkan pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata dalam HAN, karena di sini akan terlihat konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, kualitas dari hubungan pemerintah dengan masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi HAN dapat dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain HAN memuat aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran Basah, bahwa salah satu inti hakikat HAN adalah untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Tulisan dalam makalah ini akan difokuskan pada fungsi HAN baik sebagai norma, instrumen, maupun jaminan perlindungan bagi rakyat.
Identifikasi Masalah
Bagaimana pelaksanaan fungsi-fungsi HAN dalam mewujudkan pemerintahan yang baik ?
Upaya apa yang harus ditempuh untuk meningkatkan pemerintahan yang baik ?
Kerangka Pemikiran
Secara teoretis, Presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (besturen). Penyelenggaraan pemerintahan yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai administrasi negara. Bukan sebagai organ negara.
Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanapa dasar kewenangan. Ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintahan ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi welfare state, seperti halnya Indonesia. Dalam konsepsi welfare state, tugas utama pemerintah adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat.
Secara alamiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan undang-undang dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Pembuatan undang-undang berjalan lambat, sementara persoalan kemasyarakatan berjalan dengan pesat. Jika setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan undang-undang, maka akan banyak persoalan kemasyarakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Oleh karena itu, dalam konsepsi welfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada freies Ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum.
Meskipun pemberian freies Ermessen atau kewenangan bebas (discresionare power) kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dalam konsepsi welfare state, akan tetapi pemberian freies Ermessen ini bukan tanpa masalah. Sebab adanya kewenangan bebas ini berarti terbuka peluang penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara. Atas dasar ini penerapan fungsi Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam konsepsi welfare state merupakan salah satu alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Menurut Philipus M. Hadjon, HAN memiliki tiga fungsi yaitu fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Fungsi normatif menyangkut penormaan kekuasaan memerintah dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. Fungsi instrumental berarti menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah. Adapun fungsi jaminan adalah fungsi untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat.
Eksistensi Pemerintah dalam konsepsi Welfare State Indonesia.
Negara Hukum Indonesia
• Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut :
• Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
• Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
• Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
• Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
• Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
• Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
• Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Apabila kita meneliti UUD 1945, kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).
Esensi dari negara hukum yang berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, isi dari setiap konstitusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, negara merupakan organisasi kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat, agar kekuasaan ini tidak liar maka perlu dikendalikan dengan cara disusun, dibagi dan dibatasi, serta diawasi baik oleh lembaga pengawasan yang mandiri dan merdeka maupun oleh warga masyarakat, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Seandainya unsur jaminan terhadap hak-hak asasi manusia ini ditiadakan dari konstitusi, maka penyususnan, pembagian, pembatasan, dan pengawasan kekuasaan negara tidak diperlukan karena tidak ada lagi yang perlu dijamin dan dilindungi.
Karena esensi dari setiap konstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, maka menuntut adanya kesamaan setiap manusia di depan hukum. Tiadanya kesamaan akan menyebabkan satu pihak merasa lebih tinggi dari pihak lainnya, sehingga akan mengarah pada terjadinya penguasaan pihak yang lebih tinggi kepada yang rendah. Situasi demikian merupakan bentuk awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak manusia, dan ini berarti redaksi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam setiap konstitusi menjadi tidak berarti atau kehilangan makna.
Adanya kesamaan antar manusia dalam suatu negara akan memungkinkan lahirnya partisipasi aktif dari setiap orang. Partisipasi ini penting dalam suatu negara yang memiliki konstitusi, agar isi dari konstitusi sebagai hukum dasar ini merupakan kristalisasi dari keinginan-keinginan dan kehendak dari sebagian besar masyarakat, kalau tidak dapat dikatakan semua masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam suatu negara ini merupakan esensi dari demokrasi.
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945; “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.
Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.
Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :
• Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
• Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
• Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana ter-akhir;
• Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :
• Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
• Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
• Kebebasan beragama dalam arti positip;
• Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
• Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi.
Tindakan Pemerintahan dalam Negara Hukum
Pengertian Tindakan Pemerintahan
Dalam melakukan aktifitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandeli-ngen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam katagori kedua, rechtshandelingen. Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
• Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
• Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
• Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
• Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.
Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi
hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basah, berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.
Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.
Freies Ermessen ini menimbulkan implikasi dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan yang derajatnya di bawah UU, dan droit function atau kewenangan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif. Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan yaitu; Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan; Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum; Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Freies Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies Ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur freies Ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :
• Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
• Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;
• Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
• Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
• Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba;
• Sikap tindak itu dapat dipertanggung jawab baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.
Sumber-sumber Kewenangan Tindakan Pemerintahan
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumbar pada tiga hal, atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara :
Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembantuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah;
Yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.
Sedangkan yang dimaksud delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Adapun pada mandat, di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.
Fungsi-Fungsi Hukum Administrasi Negara
Dalam pengertian umum, menurut Budiono fungsi hukum adalah untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki.
Menurut Sjachran Basah ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut :
• Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
• Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.
• Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
• Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
• Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
Secara spesifik, fungsi HAN dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara
Penentuan norma HAN dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan.28 Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan TUN yang satu dengan yang lain saling berkaitan.29 Pada umumnya ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan HAN hanya memuat norma-norma pokok atau umum, sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan. Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab, yaitu :
Karena keseluruhan hukum TUN itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat UU untuk mengatur seluruhnya dalam UU formal;
Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan de-ngan tiap perubahan-perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat UU dengan mengaturnya dalam suatu UU formal;
Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat UU yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.30
Seperti disebutkan di atas bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih dahulu mencari apakah legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam UU, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan freies Ermessen. Meskipun penggunaan freies Ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu. Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies Ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,31 dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga.32 Di samping itu, pelaksanaan freies Ermessen juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan keterangan singkat ini dapat dikatakan bahwa fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.
Fungsi Instrumental Hukum Administrasi Negara
Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan sebagainya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam negara sekarang ini khususnya yang mengaut type welfare state, pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Administrasi Negara memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, HAN menentukan syarat material dan syarat formal, yaitu sebagai berikut :
Syarat-syarat material :
• Alat pemerintahan yang mem buat keputusan harus berwenang;
• Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan kekeliruan;
• Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur membuat keputusan;
• Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.
Syarat-syarat formal :
• Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
• Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;
• Syarat-syarat berhubung de-ngan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi;
• Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.
Berdasarkan persyaratan yang ditentukan HAN, maka peyelenggarakan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, terutama memberikan perlindungan bagi warga masyarakat.
Fungsi Jaminan Hukum Ad-ministrasi Negara
Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya. Sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri, dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan perkataan lain, melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum.34 Di dalam negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat diarahkan kepada usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dan rakyat, menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musayawarah serta peradilan merupakan sarana terakhir dalam usaha menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat.35 Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Paulus E. Lotulung, sesungguhnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat, yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi perseorangan. Hak dan kewajiban perseorangan bagi warga masyarakat harus diletakan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara dan bangsa kita, yaitu Pancasila.
Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi HAN ini, dapatlah disebutkan bahwa dengan menerapkan fungsi-fungsi HAN ini akan tercipta pemerintahan yang bersih, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies Ermessen, pemerintah memperhatikan asas-asas umum yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ketika pemerintah menciptakan dan menggunakan instrumen yuridis, maka dengan mengikuti ketentuan formal dan material penggunaan instrumen tersebut tidak akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negarapun akan terjamin dengan baik.
Aktualisasi fungsi hukum administrasi negara dalam mewujudkan perintahan yang baik.
Mewujudkan Pemerintahan yang Baik
Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan oleh MPR. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara, yang memiliki fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Seperti telah disebutkan di atas, fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan, dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.
Upaya Meningkatkan Peme-rintahan yang Baik
Penyelenggaraan pemerintahan tidak selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada. Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) maupun tindakan sewenang-wenang (willekeur). Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur; pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan; ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian konkret bagi pihak tertentu.37 Dampak lain dari penyelenggaraan pemerintahan seperti ini adalah tidak terselenggaranya pembangunan dengan baik dan tidak terlaksananya pengaturan dan pelayanan terhadap masyarakat sebagaimana mestinya. Keadaan ini menunjukan penyelenggaraan pemerintahan belum berjalan dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kesimpulan
Pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.
Upaya meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan antara lain dengan pengawasan lembaga peradilan, pengawasan masyarakat, dan pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Saran
Agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik, maka sebaiknya pengawasan lembaga peradilan, masyarakat, dan lembaga ombusdmen dilakukan dengan efektif. Di samping itu, pemerintah sebaiknya memperhatikan dan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van be-horlijk bestuur).
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=10&mnorutisi=11
Iskatrinah SH, Mhum., Dosen Unwiku Purwokerto

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

TINJAUAN SANKSI ADMINISTRASI MENURUT UU. NO. 23 TAHUN 1997
TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh :
Taufiq Nugroho, S.H.

A. Pendahuluan
Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan seperti kepentingan Negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan rakyat maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Penempatan kepentingan itu selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus konflik kepentingan tersebut.
Masalah lingkungan tidak selesai dengan pemberlakuan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih harus diuji dalam pelaksanaannya (uitvoering atau implementation) sebagai bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai.
Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat. Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara serta hukum internasional.
Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningakatan kualitas hidup itu sendiri.
Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering terjadi pacuan pertumbuhan yang seringkali menimbulkan dapat yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa pemerdulikan lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah. Pengelolaan pembangunan yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan dipersyaratkan untuk memperhatikan lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, maka setiap aktivitas dalam pembangunan yang bersentuhan dengan lingkungan hidup, memerlukan suatu standar mengenai Baku Mutu Lingkungan (BML).
Berhubungan dengan hal tersebut, Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa :
"Baku Mutu Lingkungan diperlukan untuk memberikan pedoman terhadap pengelolaan lingkungan secara konkret; dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 14 UUPLH (UU No. 23 Tahun 1997) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)".
Ketentuan ini berbeda dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan : bahwa Baku Mutu Lingkungan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Baku Mutu Lingkungan merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adanya aktivitas atau kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan yang ada, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Pada tingkat tertentu, jika terjadi pencemaran lingkungan, maka hal tersebut depat diklarifikasikan sebagai suatu tindak pidana terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat diproses secara hukum ke pengadilan.
Adanya keinginan masyarakat melalui LSM lingkungan atau perorangan yang diinformasikan melalu media masa untuk membawa pelaku tindak kejahatan lingkungan ke pengadilan, makin memberi alasan agar pelaku tindak kejahatan terhadap lingkungan harus dibuat jera, agar diproses menurut ketentuan hukum yang ada.
Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetaoan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan dami kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan.
Istilah " mutu" dapat menimbulkan pengertian yang ambivalen dan banyak orang yang senang menggunakan istilah "Nilai Ambang Batas". Perbedaan kedua istilah itu adalah bahwa Mutu Lingkungan mempunyai karakter diwajibkan. Dengan demikian, Mutu Lingkungan selalu merupkan Nilai Ambang Batas tetapi tidak semua Nilai Ambang Batas merupakan Mutu Lingkungan selama tidak diwajibkan berdasarkan ketentuan hukum. Karena dari aspek yuridis dan teknis ekologi, fungsi Mutu Lingkungan dalam pengelolaan lingkungan terutama untuk menentukan ada atau tidak ada pencemaran terhadap lingkungan. Untuk menentukan ada atau tidak ada kerusakan lingkungan, UUPLH mengintrodusir istilah Kriteria Kerusakan Lingkungan (KBKL), bagi kegiatan yang mempunyai "dampak besar dan penting" terhadap lingkungan, Mutu Lingkungan dikaitkan lebih jauh dengan prosedur AMDL. Mutu Lingkungan harus tercermin dalam rencana pengelolaan lingkungan (RKL). Mutu Lingkungan dipakai sebagai pedomen bagi PKL suatu kegiatan yang niscaya dituangkan sebagai persyaratan perizinan suatu rencana kegiatan.
Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara dan hukum internasional.

B. Lemahnya Penegakan Hukum Lingkungan
Salah satu penyebab parahnya kondisi lingkungan akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan saat ini adalah lemahnya penegakan hokum lingkungan baik di tingkat pusat maupun daerah. Sudah saatnya penegakan hokum lingkungan yang konsisten merupakan bentuk perlindungan kepada masyarakat dari pencemaran da kerusakan lingkungan. Jumlah perkara pencemaran dan kerusakan lingkungan yang telah di tindaklanjuti melalui upaya penegakan hokum oleh Kementrian LH dalam tahun 2001-2004 mencapai 77 perkara.
Ironisnya, AMDAL yang diharapkan sebagaiperangkat lebijakan yang dipersiapkan untuk mengurangi dampaklingkungan suatu kegiatan sejak tahap perencanaan, dan bertujuan mencegah laju pencemaran dan kerusakan lingkungan belum dapat diharapkan. Untuk melihat sejauh mana penerapan AMDAL dalam otonomi daerah, Kementrian LH telah mengevaluasi terhadap 75 domumen AMDAL.
Evaluasi ini menunjukkan sebagian domumen AMDAL gagal menyajikan substansi esensial yang harus ada didalamnya dan tidak konsisten dalam mengevaluasi dampak yang dijaki. Sebanyak 68% domumen AMDAL tersebut dikategorikan jelek. Hanya sebagian kecil dokumen yang menunjukkan mutunya bagus, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Hasil evaluasi tersebut menunjukkan, meskipun secara kelembagaan institusi AMDAL telah mencapai tahap mapan, tetapi masih memerlukan perbaikan terus-menerus agar lebih meningkatkan peranan AMDAL dalam menjaga lingkunganhidup.Fenomena yang terjadi saat ini Pemerintah Daerah berlomba-lomba “menjual” kekayaan alamnya dengan alas an untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

C. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi
Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
1. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila : Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup.
Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan perubahan yang bersifat positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, maka perlu diusahakan peningkatan dampak positif dan mengurangi dampak negatif.
Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan kewenagan atribusi (Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang melekat pada badan-badan pemerintah yang diperoleh dari Udang-Undang. Sehingga badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian memilii kewenangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997.
Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang meiliki legitimasi (kewenangan bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Dalam hal pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus oleh pemerintah.
Sanksi administrasi merupakan kewenangan pemerintah provinsi yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten / Kota, hal ini dapat tercantum dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi :
Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan / atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.

Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati / Walikotamadya / kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
Pihak ke-tiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Peksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didahulukan dengan surat perintah dari pejabat berwenang.
Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran uang tertentu.
Kemampuan daya dukung lingkungan hidup terdapat beban pencemaran mempunyai keterbatasan. Apabila kondisi ini dibiarkan akan berdampak terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu penegakan hukum adminitrasi oleh lembaga pemerintah harus dilaksanakan.

Sanksi-sanksi hukum adminitrasi yang khas
Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem tersebut. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan pertanggungjawaban jika dia lalai dalam menjalankan kewajibannya.
Teerdapat beberapa sanksi khas yang terkadang digunakan pemerintah dalam penegakan hokum lingkungan, diantaranya Bestuursdwang. Bestuursdwang (paksaan pemerintahan) diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi). Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya "dapat diakhiri" atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).

C. Kesimpulan
Masyarakat Indonesia dalam kenyataannya lebih akrab dengan lingkungan alamnya daripada penerapan teknologi. Perkembangan teknologi yang mengelola sumber daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya sehingga tetap bermanfaat bagi generasi-generasi mendatang. Dengan memperhatikan kualitas lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai komoditi masyarakat setempat yang tersubsistem.
Hanya tindakan manusia yang membuat seolah-olah mampu menguasai alam sehingga hampir semua lingkungan hidup sudah tersentuh oleh kehidupan manusia.
Penegakkan hukum lingkungan dapat dilakukan dengan pemberian sanksi yang berupa sanksi administrasi. Sanksi administrasi menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diberikan oleh Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I terhadap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan /atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.
Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati pemerintrah sebagai bahan refleksi. Pertama, kita telah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hodup sebagai Umbrella Act bagi peraturan yang lain yang juga mengatur mengenai lingkungan, yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat sebagai pemilik tanah dan air. Namunmasalah utama pengelolaan lingkungan hidup tidak pernah ada niatan yang sungguh-sungguh untuk peduli masalah lingkungan.
Kedua, perlindungan lingkungan masih minoritas ketimbang semangat mengeksploitasi. Ini dapat diliohat dari seperangkat lingkungan tentang sumberdaya alam, yang diterbitkan sekedar untuk mengatur eksploitasi ktimbang konservasi.


DAFTAR PUSTAKA

Azhar, 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, palembang, Universitas Sriwijaya.
Ayu, KRH I Gusti. 2005. Upaya Penegakan Hukum Lingkungan. Harian Solopos, 5 Juni 2005.
Boehmer-Cristiansen S. 1994. Policy and Environmental Management. Journal of Environmental Planning and Management. 37 (1).
Eggi Sudjana Riyanto, 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektig Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadjon, Philipus. 1998. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta, UGM Press.
Kartawinata. 1990. Bentuk-bentuk Eksploitasi Sumber daya ALam. Laporan Peneloitian BPTP-DAS Surakarta.
Nabil Makarim, 2003. Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.
Siti Sundari Rangkuti, 2003. Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.

Sumber Lain;
Kementrian Lingkungan Hidup RI, HImpunan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2002
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hukum yang Demokratis

MEMPUNYAI HUKUM YANG DEMOKRATIS

“Negara hukum yang dilahirkan tahun 1945 adalah suatu proyek besar.
Sebagai proyek ia tidak begitu saja serta merta menjadi,
melainkan sesuatu yang terus menerus perlu dibangun, mewujud nyata.”
(Satjipto Rahardjo, 2007: xvi)


Demokrasi acapkali menjadi bahan perbincangan yang tak terpisah manakala kita sedang asyik membicarakan hal-hal yang terkait dengan negara. Apalagi membicarakan tentang tujuan negara kita, Indonesia. Meski dalam pembukaan UUD 1945 tidak ditemukan kata demokrasi, secara subtansi, nilai-nilai yang diharapkan oleh demokrasi juga tertuang di sana. Di mana pada pangkal pokok tujuan negara kita (yang sering disejajarkan dengan cita-cita bangsa) adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Mungkin sebagian besar orang di Indonesia saat ini sangsi bahwa hukum ada pengaruhnya terhadap perubahan sosial. Malah sebaliknya, hukum lebih sering dianggap menguntungkan status quo (Rahardjo. 2007: 115). Cuma buat melesetarikan kepentingan dan kelompok yang sedang berkuasa saja. Mereka yang percaya akan hal ini, memang mempunyai alasan teoritik maupun empirik. Penganut Marxist klasik sering menyatakan bahwa hukum hanyalah alat kaum berkuasa, kalau di depan mata kita berulang kali disuguhkan peristiwa-peristiwa nyata di mana hukum dan aparat penegaknya sewenang-wenang terhadap kelompok yang lemah. Perda-perda lebih banyak menggusur daripada memberi tempat hidup bagi keluarga-keluarga yang sudah terjepit hidupnya di kota-kota besar. Aparat hukum lebih garang kepada tukang becak, pedagang kaki lima, perempuan dan anak-anak di jalanan, tapi justru lemah dihadapan pengusaha, anak mantan presiden, dan birokrat pemeras.
Sementara, meyakini bahwa hukum sama sekali tak berperan untuk mengubah nasib banyak orang lemah juga bisa menyesatkan, dan malah menguntungkan yang sedang berkuasa juga. Hukum sebagai sarana memang punya keterbatasan, tapi juga punya kekuatan. Contoh di atas sebetulnya secara tak langsung membuktikan, kalau hukum ada pengaruhnya pada perubahan sosial. Masyarakat sejatinya selalu berubah, tidak statis. Hukum, baik yang tertulis maupun tidak, cenderung statis.

Demokrasi
Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi: pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Untuk pemahaman yang terakhir ini disebut juga sebagai procedural democracy. Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ungkapan normatif tersebut, biasanya, diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing Negara, misalnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagi pemerintahan Republik Indonesia. (Gaffar. 2006: 3)
Indonesia sudah mengalami empat kali perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar-nya sampai tahun 2002. perubahan itu tentunya juga akan berimbas pada berubahnya sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada tatanan politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Akan tetapi, meskipun terjadi perubahan secara fundamental, namun semangat dan nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 tetap terjaga, paling tidak tercermin dalam arahan bahwa hukum harus dibentuk secara demokratis dan aspiratif, isinya menjamin perikemanusiaan, dan ditujukan bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. (BPHN. 2006: 61)
Demokrasi yang sudah mahal akan menjadi lebih mahal bila hukum yang digunakan untuk menjaganya hanya menjadi institusi yang berkutat dengan peraturan dan logika saja. Artinya, hukum dan demokrasi mempunyai hubungan yang cukup erat, dapat diibaratkan dua sisi sekeping mata uang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukumnya. (Mahfud, MD. 1999: 53)

Living Law
Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang membeku dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa. (Rahardjo. 2007: 10-11). Hukum nasional yang nota bene berwatak modern dan liberal “membunuh” hukum adat yang hidup (living law) dalam interaksi masyarakat.
Kualitas penegakan hukum itu beda-beda. Konon seorang pemimpin China memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya adalah untuk dirinya, manakala ia melakukan korupsi. Sementara dibanyak negara ada yang melakukan penegakan hukum secara lunak dan bahkan bisa dikomersilkan dengan istilah yang lebih kasar adalah jual beli hukum.
Di Indonesia, hukum oleh beberapa kalangan, dianggap sebuah virus yang membuat masyarakat berupaya sekuat tenaga untuk menghindar. Dapat dilihat dengan terbitnya peraturan baru pasti bukan kabar gembira yang diterima sukacita. Pembentuknya saja tidak antusias. Dan kalau digugat malah berkilah: ketentuan semacam itu terpaksa dibuat. Padahal tidak pernah ada inspirasi dalam aksi terpaksa. Jadi, salah besar kalau pemimpin negara berharap rakyat akan lekas bergerak asal peraturan dibuat. Sebab, tindakan sadar butuh alasan, bukan sekadar rangkaian perintah dan pembatasan.
Hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking) untuk mencapai tujuannya yang paling tinggi. Karl Ranner menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable”. (http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html)
Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau di kala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Dengan kata lain bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Pandangan ini adalah pandangan yang menolak logosentris dengan berpaling pada antoposentis yang humanis. Dengan memperhatikan masyarakat, maka hukum akan terus hidup (living) dalam masyarakat. Dapat dibilang hukum itu menjadi progresif.

Hukum Progresif dan Hukum yang Demokratis
Prof. Satjipto Rahardjo yang mulai menggulirkan Hukum Progresif sejak tahun 2002 menyatakan bahwa Hukum yang Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu.
Prof Tjip secara ringkas memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. (Rahardjo. Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan hukum progresif karena dia dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah kejumudan positivisme hukum. Kalangan positivisme hukum diam-diam memperhitungkan Hukum Progresif sebagai benih yang berangsur siap di semai di lahan sosial, yang akan merepotkan kalangan yang memposisikan hukum sebagai mesin yang mekanistik, rasional dan berkepastian. Sejak kira-kira tahun 2002 pula gairah menseriusi Hukum Progresif muncul, namun belum membeku menjadi konsep yang dapat diterapkan menjadi tujuan. Sepanjang ini hanya digunakan sebagai argumen dan perasaan kepedulian (senziting concept). Pendekatan ini memang terbuka (inklusif) tapi bila akan mengeras menjadi barikade tentu memerlukan agensi yang jelas, paradigma dan pola pengembangan aksional, barangkali dengan institusional yang kultural.
Dalam situasi "normal" saja hukum banyak dikenal sebagai institusi yang mahal, apalagi dalam keadaan krisis dan keterpurukan bangsa sekarang. Ia menjadi mahal, karena hukum modern banyak bertumpu pada prosedur, birokrasi dan sebagainya. Belum lagi ditambahkan sifat liberal dan kapitalistik hukum modern. Pada titik inilah terjadi banyak keluhan, hukum sudah menjadi obyek bisnis. Hukum tidak lagi bisa diandalkan menjadi tempat untuk mencari dan menemukan keadilan.
Hukum tidak boleh dibiarkan menjadi ranah esoterik, yang hanya boleh dan bisa dimasuki para lawyer sekalian pikirannya yang spesialistis, yang biasanya berkutat pada "peraturan dan logika". Hingga kini, cara berpikir dan menjalankan hukum seperti itu masih dominan, yang dikenal sebagai analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Dengan berpikir seperti itu praktek hukum hanya dibatasi ranah peraturan dan logika peraturan. Tidak! Hukum juga perlu ditarik keluar memasuki ranah kehidupan sehari-hari dengan sekalian harapan, keresahan, dan kebutuhan masyarakat. Singkat kata, hukum tidak boleh hanya menjadi permainan kata-kata, tetapi perlu bermakna sosial.
Hukum yang anti-progresif tidak berpikir sejauh itu. Mereka hanya berpikir, supremasi hukum sudah diwujudkan dengan memperlihatkan kesibukan menerapkan peraturan dengan menggunakan logika. Tidak bisa! Bila ini yang terjadi, tidak ada gunanya kita mempromosikan supremasi hukum, karena hukum hanya akan menjadi permainan para lawyer dan elite politik, jauh dari memberi kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan kepada rakyat. Bahkan lebih dari itu supremasi hukum menjadi safe haven, tempat berlindung yang aman bagi para koruptor. Dan itu sudah terjadi melalui tontonan tentang bagaimana hukum sulit menangani korupsi di negeri ini.
Hukum tidak ingin hanya menjadi monopoli para lawyer, tetapi ingin bersosialisasi, berjabatan tangan dengan rakyat, ingin memberi jasa sosial kepada rakyatnya. Ia ingin bermakna mengantarkan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya (bringing justice to the people). Orang Indonesia toh masih percaya kepada hukum. Orang masih memberikan kesempatan kepada hukum untuk menata dan mengatur bangsa dan negara ini. Polisi, jaksa, hakim masih menjalankan tugasnya sehari-hari.
Edmund Burke: “di segala formasi perintah-kuasa, rakyatlah pembuat hukumnya yang sejati”. Pada ideal itu, hukum dan rakyat bukan saja karib, malah, hanya terpilah garis-miring. Sehingga menyusun aturan tak ubahnya menenun-ikat. Ia mewajibkan keterampilan dan ketekunan. Juga menuntut habis olah pikiran, hati dan semangat juang. Kain yang dihasilkan, karenanya, melampaui fungsi minimumnya sebagai pelapis ketelanjangan. Ia mengutarakan martabat pemakainya, di atas suguhan keanggunan dan kenyamanan. Kerja menata adalah kerja budaya, menginspirasi adalah tugas kebudayaan. (http://perancangprogresif. blogspot.com/2007/01/legislasi-sebagai-kerja-kebudaya an.html).
Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari dan perbuatannya di dalam hukum. Faktor manusia dalam hukum sudah terlalu lama diabaikan untuk member tempat kepada hukum. Ide penegakan hukum progresif adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu hukum. Hukum berfungsi memberi panduan dan tidak membelenggu. Manusia-manusialah yang berperan lebih penting. (Rahardjo. 2007: xix).
Dengan demikian, hukum harus dibentuk secara demokratis dan aspiratif, isinya menjamin perikemanusiaan, dan ditujukan bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. Para pembentuknyapun harus memperhatikan secara cermat kebutuhan masyarakat, memperhatikan hukum yang memang sudah ada di masyarakat. Sehingga, selain hukum yang akan terlahir adalah living law, juga hukum yang demokratis di negara hukum Indonesia ini akan segera mewujud nyata.




Referensi
Afan Gaffar. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 1997. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama
Miriam Budiardjo. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Moh. Mahfud, MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media
Satjipto Rahardjo. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Soerjono Soekanto. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Tim ICCE UIN Jakarta. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media
Dep. Huk.HAM. RI. 2006. Kumpulan Hasil Seminar: Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional

Internet
http://perancangprogresif.blogspot.com/2006/12/hukum-untuk-transformasi-sosial.html
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/20/opini/1164182.htm
http://perancangprogresif.blogspot.com/2007/01/legislasi-sebagai-kerja-kebudaya an.html

Pengaruh Positivisme Dalam Pemikiran Hukum (Telaah Terhadap Aliran Positivisme Hukum Analitis John Austin)

PENDAHULUAN
Pendapat yang menyatakan bahwa induk dari segala macam ilmu pengetahuan adalah Filsafat merupakan argumen yang hampir diterima oleh semua kalangan. Hal ini terbukti dengan adanya hubungan yang erat antara ilmu pengetahuan tertentu dengan filsafat tertentu, seperti filsafat hukum yang melahirkan ilmu hukum dan seterusnya.
Filsafat hukum adalah refleksi teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang hukum.[1] Filsafat hukum adalah filsafat atau bagian dari filsafat yang mengarahkan (memusatkan) refleksinya terhadap hukum atau gejala hukum.
Sebagai refleksi kefilsafatan, filsafat hukum tidak ditujukan untuk mempersoalkan hukum positif[2] tertentu, melainkan merefleksi hukum dalam keumumannya atau hukum sebagai demikian (law as such). Filsafat hukum berusaha mengungkapkan hakikat hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum sejauh yang mampu dijangkau oleh akal budi manusia.[3]
Bila merujuk pada sejarah pemikiran barat, seperti disebutkan oleh Scheltens[4] , filsafat merupakan bentuk tertua dari pemikiran rasional yang bersifat pengertian dan dapat mempertanggungjawabkan dirinya sendiri. Boleh dikatakan meliputi seluruh daerah pemikiran manusia, yang merupakan keseluruhan yang hampir-hampir tidak dibedakan. Pada perkembangan berbagai pengetahuan menyadari obyek dan metodenya sendiri, bahkan mengabsolutkan diri, yang lambat laun memisahkan diri dari filsafat. Lebih lanjut Scheltens menyebutkan bahwa para ilmuan berputus arang dengan filsafat, menganggap filsafat sama sekali tidak diperlukan, tidak bermanfaat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terpukau oleh keberhasilan metodenya sendiri dan arena kejelasan serta ketetapan lapangan telaah sendiri, orang lalu menghapus filsafat, dengan keyakinan bahwa mulai sekarang hasil-hasil berbagai ilmu pengetahuan pasti dapat menggantikan dan mengabaikan filsafat.
Kecenderungan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, mendapat dukungan dari gagasan tiga tahap August Comte.[5] Menurutnya sejarah pemikiran manusia berevolusi dalam tiga tahap; tahap teologis (mistis) dimana manusia memecahkan berbagai persoalan dengan meminta bantuan kepada Tuhan atau dewa-dewa, yang tidak terjangkau oleh panca indera; tahap falsafi dimana pada tahap ini hakekat benda-benda merupakan keterangan terakhir dari semua; dan tahap positivis, tahap dimana dunia fakta yang dapat diamati dengan panca indera merupakan satu-satunya obyek pengetahuan manusia. Pada tahap terakhir inilah dunia Tuhan dan dunia filsafat telah ditinggalkan.
Tulisan sederhana ini tidak bermaksud untuk membahas berbagai persoalan tersebut, hanya untuk mencari jawaban bagaimana pengaruh positivisme dalam pemikiran hukum khususnya telaah terhadap positivisme analitis John Austin.
ANALISIS
Filsafat hukum mencari hakekat dari pada hukum, yang menyelidiki kaedah hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai[6] . Dimana ilmu pengetahuan hukum berakhir, disanalah mulai filsafat hukum; ia mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dalam ilmu pengetahuan[7] .
Bicara mengenai aliran positivisme, bahwa aliran ini sama tuanya dengan filsafat. Namun baru berkembang pesat pada abad ke 19 tatkala empirisme mendominasi pemikiran. Positivisme lahir dan berkembang di bawah naungan empirisme[8] . Artinya antara empirisme dan positivisme tidak dapat dipisahkan.
Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat[9] .
Di dalam aliran positivisme hukum dikenal dua sub aliran yaitu :
Aliran hukum yang analisis, pendasarnya adalah John Austin
Aliran hukum positif yang murni, didepelopori oleh Hans Kelsen.
Dalam tulisan ini sebagaimana dinyatakan terdahulu, memfokuskan pada aliran hukum positif yang analitis oleh John Austin. Positivisme yang dirintis John Austin, yang diberi nama Analytical Judisprudence, dekat sekali dengan mazhab hukum umum. Austin menggunakan metode analisa saja. Melalui analisa sistem-sistem hukum tertentu Austin ingin sampai pada suatu ide umum tentang hukum.
Berdasarkan metodenya yang empiris belaka, Austin sampai pada pengertian tentang Negara, yang menurutnya berlaku secara mutlak. Negara dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh orang-orang dalam wilayah tertentu. Negara-negara timbul dan dipertahankan, oleh sebab kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan mentaati pemerintah. Bila kebiasaan itu berhenti maka sudah tidak terdapat negara lagi. Terdapat bermacam-macam alasan untuk mentaati pemerintah. Ada orang yang mentaati oleh sebab mereka berpegang teguh pada prasangka bahwa pemerintah selalu harus ditaati. Sementara alasan lain karena takut akan kekacauan, bila negara dirombak. Semuanya ini dipastikan dalam pengalaman. Nilai-nilainya tidak dipersoalkan. Dapat dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber hukum. Di atas yang berkuasa hukum tidak ditemukan. Diungkapkan oleh Austin bahwa tiap-tiap Undang-undang positif ditentukan secara langsung atau secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota-anggota dari suatu masyarakat politik yang berdaulat, dalam mana pembentuk hukum adalah yang tertinggi. Dengan ketentuan ini Austin tidak menyangkal adanya norma-norma hukum ilahi, norma-norma moral dan juga hukum internasional. Dipastikannya saja, bahwa semua prinsip tersebut tidak mampu untuk meneguhkan atau meniadakan hukum yang berlaku dalam suatu negara[10] .
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai “a command of the Lawgiver” (perintah dari pembentuk Undang-undang atau penguasa), yaitu : suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk.
Selanjutnya John Austin membagi hukum itu atas :
1. Hukum ciptaan Tuhan, dan
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari;
a. hukum dalam arti yang sebenarnya yaitu yang disebut juga sebagai hukum positif, terdiri dari:
- hukum yang dibuat oleh penguasa, seperti Undang undang, Peraturan pemerintah dan lain-lain.
- hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contohnya: hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian, hak kurator terhadap badan/orang dalam curatele.
b. hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang. Contohnya: ketentuan-ketentuan yang dibuat perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya.
Terdapat empat unsur penting menurut John Austin untuk dinamakan sebagai hukum, yaitu:
a. perintah
b. sanksi
c. kewajiban
d. kedaulatan
Adapun keempat unsur tersebut kaitannya satu dengan yang lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
Unsur perintah ini berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah ini tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a souvereign body of persons).
Buah pikir John Austin ini tertuang dalam kedua bukunya yang terkenal, yaitu: The Province of Jurisprudence Determined dan Lecture on Jurisprudence.[11]
Aliran positivisme hukum yang analitis yang dipelopori oleh John Austin tersebut pada sekitar abad ke-19 dan dalam bagian pertama abad ke-20, tampaknya menguasai pemikiran hukum di Barat, yang kemudian juga di dasarkan pada filsafat Yunani. Dimana cukup jelas peranan aliran positivisme terutama yang analitis tersebut bahwa penerapan hukumnya dilakukan oleh pihak penguasa. Dengan adanya identifikasi hukum yang aplikasinya diterapkan dengan undang-undang akan menjamin bahwa setiap individu dapat mengetahui dengan pasti apa saja perbuatannya yang boleh dilakukan dan apa saja perbuatannya yang tidak boleh dilakukan. Bahkan negarapun kemudian akan bertindak dengan tegas dan konsekuen sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan diputuskan, dalam melaksanakan keadilan menurut ketentuan negara. Begitu pula dengan penerapan hukum melalui ketentuan-ketentuannya dan peraturan-peraturannya yang ada yang telah dibuat harus dilaksanakan sesuai dengan segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Austin adalah tokoh pertama yang memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahasa hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama. Tanpa memperdulikan baik atau buruknya hukum itu, diterima atau tidak oleh masyarakat.
Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar. Semua hukum positif adalah perintah. Perintah dari yang berdaulat atau command of sovereign atau command of law-giver.
Pemegang kedaulatan tidak terikat baik oleh peraturan yang dibuatnya sendiri, maupun oleh asas-asas yang berasal dari atas (moral dan agama). Masalah kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari hukum positif adalah bersifat pra-legal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau sosiologi) dan hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataannya[12] .
Namun disamping kebaikan-kebaikan yang ada dan dikemukakan oleh Aliran Positivisme yang Analitis tersebut sudah, sudah barang tentu terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaran-ajarannya yang kurang sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakatnya yang hidup dan berdiam dalam masa tersebut. Apabila dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran Positivisme yang Analitis tersebut adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang-undang tersebut. Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan ketentuan tersebut telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan dalam masyarakat dan juga secara langsung hakim akan menjadi terikat pada Undang-undang yang telah ditetapkan tersebut.
Peraturan perundang-undangan juga memiliki kelemahan/ kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:
1. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.
2. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum (Bagir Manan. 1992:8)
Dalam kaitannya dengan identifikasi Hukum dan Undang-undang yang demikian kuatnya dilakukan oleh pihak penguasa dan pemerintah, kemudian pada akhirnya dapat saja terhadap Ketentuan Hukum dan Undang-undang tersebut disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang akan menguasai negara secara mutlak dan absolut sesuai dengan keinginannya yang ada pada masa itu. Dimana kemudian pihak penguasa dalam negara dapat menggunakan ketentuan hukum dan Undang-undang untuk memberikan legitimasi kepada tindakan-tindakan mereka yang sebenarnya, dimana menurut perasaan hukum masyarakat tindakan tersebut adalah merupakan tindakan yang tidak bermoral dan kriminal serta menjadi kejam. Sehingga kemudian semua-semua ketentuan dan kehendak yang dikeluarkan oleh perintah pribadi penguasa dapat dijadikan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakatnya, dan kemudian individu-individu yang ada dalam lingkup masyarakat akan berada pada posisi yang dilematis, dimana disatu pihak hukum dan ketentuan dari penguasa tidak dapat dipertahankan secara konsekuen, apabila ketentuan hukum dan perundang-undangan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk menindas dari ketidak adilan.
Pendapat yang menyatakan bahwa jika undang-undang telah tersedia, terkodifikasi atau fragmentaris maka sudahlah cukup sarana perundang-undangan untuk diandalkan buat menindak setiap pelanggaran ataupun untuk melindungi kepentingan dalam masyarakat. Kurang diperhatikan dan disadari, bahwa pada aturan hukum yang dianggap mendekati keadilan harus dipenuhi syarat bahwa hukum harus mampu mencerminkan tuntutan hati nurani masyarakat khususnya perasaan keadilan mereka.
Telah terjadi pergeseran prinsip dan konsepsi dari Negara Hukum menjadi negara Undang-undang yang meletakkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah sebagai ukuran kebenaran. Di dalam undang-undang seperti ini setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi pembenaran dengan perbuatan undang-undang melalui penggunaan atribusi kewenangan sehingga hukum ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak positivist – instrumentalistik.
Dalam ajaran Austin dikatakan bahwa hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Dengan sifat tetap dan tertutup dari hukum tersebut, maka hukum pada masa itu tidak menerima perkembangan dari pihak manapun sekalipun perkembangan tersebut berasal dari dalam masyarakat lingkup negaranya, akibatnya hukum tidak mengenal dispensasi dan penyimpangan yang dianggap oleh masyarakat setempat tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa setiap hukum harus selalu dipatuhi, oleh karena kadang-kadang hukum pun memberikan dispensasi bagi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sepanjang ketentuan tersebut tidak atau bukan merupakan suatu kejahatan atau delik. Terutama dalam ketentuan hukum yang bersifat privat (terutama dalam hal pembuatan perjanjian diantara pihak-pihak), bahwa ketentuan hukum yang dibuat biasanya tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban, kesusilaan dan kepatutan. Dengan demikian, masalah utamanya adalah bagaimana mengusahakan agar warga-warga masyarakat secara maksimal dapat mematuhi ketentuan hukum tanpa menterapkan paksaan atau kekerasan. Jadi secara sederhana dapat dikatakan, bahwa yang harus diusahakan adalah peraturan-peraturan yang sifatnya tertulis, baik, kewibawaan petugas dan fasilitas pendukung yang cukup, walaupun secara nyata tidaklah dapat dikatakan sebagai hal yang sederhana.
Terhadap ajaran dari Austin yang menyatakan tentang hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yakni hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, bahwa dari ketentuan tersebut jelas terlihat, meskipun hukum disini dapat saja dibuat atau ditetapkan bukan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang, akan tetapi tetap keberadaan dari hukum tersebut pada akhirnya tidak diakui oleh pihak penguasa. Karena konsepnya jelas bahwa hukum tersebut diklasifikasikan sebagai hukum dalam arti yang tidak sebenarnya. Dengan demikian, tetap saja ajaran dari Austin tersebut tidak dapat memberikan tempat bagi masyarakat, berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dianut sehingga kemungkinan terbentuk menjadi suatu aturan yang lebih dihormati dalam masyarakat yang ada menjadi tidak berdaya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa dari kehidupan bersama manusia yang kemudian mengadakan hubungan dan saling berinterksi antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan tercipta hukum. Baik negara maupun hukum timbul dari kehidupan manusia karena keinginan hati dari masing-masing individu untuk memperoleh ketertiban. Akan tetapi konsep yang seperti ini tidak tampak pada ajaran positivisme yang analitis. Dengan adanya hukum dalam arti yang absolut dan mutlak dari konsekuensi aliran positivisme yang analitik ini, karena makna dari hukum yang dibuat oleh manusia tersebut akan menjadi suatu bentuk dari perintah dan ketentuan yang mutlak yang berasal dari penguasa menjadi suatu keharusan bagi masing-masing individu untuk menjalankannya dengan suka atau tidak suka ataupun mau dan tidak mau. Masyarakat diwajibkan untuk menjalankan dengan sepenuh hati sehingga kemungkinan untuk terbentuknya suatu rezim penguasa yang otoriter dari negara yang menganut ajaran ini akan tercipta dengan mudah sekali.
PENUTUP
Sebagai penutup dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa aliran hukum positif yang analitis mempunyai suatu kekuatan yakni aliran ini banyak dianut oleh para pemikir hukum di Barat di abad ke 19 dan awal abad ke-20. keberhasilan dari aliran ini terlihat pada bentuk kepastian hukum yang benar-benar terjamin pada masing-masing negara yang menganutnya. Akan tetapi dari ajaran tersebut yang telah berkembang pada konsep para pemikir di Barat, ajaran-ajran dari hukum positif yang analitis ini juga mempunyai banyak kelemahan di sana-sini. Adapun titik kelemahannya yang pokok, bahwa aliran hukum positif yang analitis itu cenderung membuat suatu kekuatan dari penguasa untuk membentuk suatu pemerintahan absolut. Hal ini disebabkan karena adanya empat unsure penting dari ajaran John Austin untuk dapat dinamakan hukum, yang di dalamnya terdiri dari perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sehingga dengan empat unsur penting dari hukum tersebut membuat para penguasa yang mebentuk ketentuan hukum dan undang-undang menjadi suatu keputusan yang mutlak harus dilaksanakan tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memberikan masukan-masukan yang berkembang dan tumbuh dari dalam masyarakatnya sendiri. Semua ketentuan hukum dan undang-undang yang terbentuk menjadi suatu perintah dan kewajiban yang harus dijalankan dan ditaati, kemudian mempunyai sanksi yang mengikat para pelaksana hukum menjadi secara langsung terikat karenanya. Kemudian yang terakhir bahwa semua pembuat ketentuan hukum dan undang-undang yang dalam hal ini adalah pihak penguasa hanya dapat terlaksana jika pihak penguasa sebagai pihak yang memerintah tersebut merupakan pihak yang berdaulat. Dari ketentuan tersebut dapat dianalisa bahwa pihak penguasa ataupun pihak pemerintah yang berdaulat sebagai pembentuk ketentuan hukum dan undang-undang sebetulnya tidak perlu dipertegas lagi, karena jelas suatu Negara yang telah memiliki pemeritahan sendiri, rakyat sendiri dan wilayah sendiri tentunya sudah merupakan sesuatu (dalam hal ini dapat disebut Negara) yang dianggap berdaulat atau memiliki kedaulatan sendiri, dan juga sebenarnya dengan telah adanya kedaulatan yang merupakan bagian dari suatu negara yang tidak dapat dipisahkan, maka kedaulatan sudah merupakan bagian dari bentuk dan sistem politik pemerintahan dalam negara itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Armico-Bandung, 1992.
Bagir Manan Dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1993.
Bernard Arif Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan lmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia), Mandar Maju Bandung, 2000.
Hendry P. Panggabean, Fungsi MA Dalam Praktik Sehari-hari, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
J.J. H. Bruggink, Alih bahasa Arif Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum itu, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
M. Solly Lubis, Politik Dan Hukum Di Era Reformasi, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Indonesia, 1998.
Ridwan, Pengaruh Positivisme dalam Pemikiran Hukum (Studi Kritis atas Aliran Legalisme-Positivisme Hukum), Jurnal Magister Hukum, Vol.2 No.1 Februari 2000.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1997.
[1] Lili Rasjidi, dalam Bernard Arif Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan lmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia), Mandar Maju Bandung, 2000, hlm.119.
[2] Hukum positif adalah ialah terjemahan dari ius positum dalam bahasa latin, secara harfiah berarti hukum yang ditetapkan (gesteld recht). Jadi, hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut stellig recht. Lihat J.J. H. Bruggink, Alih bahasa Arif Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm 142.
[3] Ibid
[4] Scheltens, dalam Ridwan, Pengaruh Positivisme dalam Pemikiran Hukum (Studi Kritis atas Aliran Legalisme-Positivisme Hukum), Jurnal Magister Hukum, Vol.2 No.1 Februari 2000, hlm. 41.
[5] Ibid, hlm.42.
[6] Soetikno, dalam Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.1.
[7] Lili Rasjidi, ibid, hlm.3.
[8] Muh. Bagir Shadr, dikutip oleh Ridwan, Op cit. hlm. 56.
[9] Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum. Armico-Bandung, 1992. hlm. 79.
[10] Dikutip dari Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1997. hlm. 137-138.
[11] Dikutip dari: Lili Rasjid; Op cit; hlm. 42-44
[12] Dikutip dari Achmad Roestandi, Op cit. hlm. 81
Posted by Hukum Tata Negara Indonesia at 11:14:00 PM
Labels: Arsip Tulisan

Pembangunan Hukum Dan Perubahan Sosial

GBHN 1993 menetapkan sasaran bidang hukum dalam lima tahun keenam
ialah pembaruan hukum nasional, peningkatan penegakan hukum, dan
pembinaan aparatur hukum, serta peningkatan sarana dan prasarana
hukum. Dalam hal pembaruan hukum, sasaran utama adalah mengganti
produk-produk hukum kolonial dengan hukum nasional yang berdasar
Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, pembaruan hukum harus
diarahkan kepada terciptanya suatu sistem hukum nasional yang da-pat
menjamin terwujudnya pembangunan nasional.

Pembangunan hukum sehubungan dengan rencana pembaruan hukum nasional
tersebut pada umumnya hanya dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
legislasi, yakni melahirkan undang-undang baru (statutory law).
Peranan Mahkamah Agung (MA) dalam hal ini jelas hampir tidak ada sama
sekali. Jika pasal 37 UU No 14 Tahun 1970 tentang MA ditafsirkan
secara luas - dan dengan baik - MA dapat memberi pendapat tentang RUU
dengan diminta atau tidak diminta oleh pemerintah dan/atau DPR.

Pembangunan Hukum

Menurut sejumlah pakar, pembangunan hukum mengandung dua arti.
Pertama, sebagai upaya untuk memperbarui hukum positif (modernisasi
hukum). Kedua, sebagai usaha untuk memfungsionalkan hukum yakni dengan
cara turut mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang sedang membangun. (Satjipto Rahardjo, Hukum dan
Perubahan Sosial, 1979). Jadi, pembangunan hukum tidak terbatas pada
kegiatan-kegiatan legislasi saja, melainkan pada upaya menjadikan
hukum alat rekayasa sosial (social engineering). Dengan kata lain kita
dapat simpulkan, "definisi" pembangunan hukum adalah "mewujudkan
fungsi dan peran hukum di tengah-tengah masyarakat". Untuk itu ada
tiga fungsi hukum: sebagai kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa
(dispute settlement), dan sebagai alat rekayasa sosial (social
engineering).

Tetapi yang kita saksikan dan alami akhir-akhir ini jauh berbeda dari
rumusan tersebut. Kontrol sosial adalah "proses yang dilakukan untuk
mempengaruhi agar orang-orang bertingkah laku sesuai dengan yang
diharapkan masyarakat". Karena itu hukum perlu "bening dan jernih" -
tidak terombang-ambing oleh berbagai kepentingan. Hukum harus
sedemikian "dingin"-nya sehingga ia kuat menghadapi berbagai bujukan
dan imbauan. Bila ada kasus rumit yang menyebabkan bertindihannya
berbagai kepentingan, bukan UU dan ketentuan-ketentuan itu yang dapat
dibengkok-bengkokkan, melainkan sebaliknya. Perkara itu yang harus
bisa "dimasukkan" ke dalam pasal-pasalnya sehingga dapat diputus.

Pada masyarakat modern, sengketa-sengketa lebih sering (lebih aman?)
diselesaikan lewat jalur hukum (pengadilan). Secara teori,
perkembangan sosial masyarakat (social development) merupakan salah
satu faktor yang ikut mempengaruhi kecenderungan masyarakat untuk
menyelesaikan konflik lewat pengadilan. Kepercayaan masyarakat kepada
pilihannya ini makin besar bila penyelesaian tersebut memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Karena itu, keputusan pengadilan yang berkekuatan
hukum harus dipatuhi atau dieksekusi.

Kepastian hukum adalah unsur penting dalam upaya membangun kesadaran
hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Arti kepastian hukum
adalah hukum yang dijalankan sebagaimana mestinya dengan tegas,
konsekuen, dan tanpa pilih kasih. Kalau keadaan ini tercapai, berarti
orang dapat memastikan atau meramalkan bahwa setiap pelanggaran hukum
da-pat diganjar sesuai dengan ketentuan yang ada, dan orang yang
dirugikan - baik oleh pribadi, kelompok, atau negara - akan mendapat
ganti rugi. Dengan kata lain pengadilan beserta aparat hukum lainnya
harus benar-benar menerapkan hukum secara konsisten, tanpa pilih
kasih, serta sesuai dengan rasa adil masyarakat.

Rekayasa Perubahan Sosial

Hukum sebagai alat social engineering adalah ciri utama negara modern.
(Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective,
1975) Jeremy Bentham bahkan sudah mengajukan gagasan ini di tahun
1800-an, tetapi baru mendapat perhatian serius setelah Roscoe Pound
memperkenalkannya sebagai suatu perspektif khusus dalam disiplin
sosiologi hukum. Roscoe Pound minta agar para ahli lebih memusatkan
perhatian pada hukum dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya
sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books). Hal
itu bisa dilakukan tidak hanya melalui undang-undang, peraturan
pemerintah, keppres, dll tetapi juga melalui keputusan-keputusan
pengadilan. Misalnya keputusan MA.

Di Amerika, sering anggota kongres dan senat menghindari membuat
produk-produk legislasi untuk masalah-masalah yang kontroversial,
karena khawatir akan dampak politisnya. Mereka berharap, US Supreme
Court yang memutuskan. Perlu diketahui bahwa peran MA Amerika dalam
membentuk hukum jauh lebih besar dari peran MA Indonesia. Karena,
Amerika menganut common law, sedang Indonesia menganut sistem civil
law.

MA sebagai pembentuk salah satu sumber hukum formal - yakni
jurisprudensi - dapat berperan besar dalam pembangunan hukum di
Indonesia. Agar keputusan-keputusan MA sebagai jurisprudensi dapat
menjadi stimulator dan menyumbang bagi pembangunan dan perkembangan
hukum di Indonesia. Karena itu, keputusan-keputusan itu harus dapat
mewujudkan setidak-tidaknya satu dari tiga fungsi hukum yang disebut
di atas.

Bagaimana yang terjadi di negeri kita? Ketua MA Soerjono mengusulkan
kepada Presiden agar Ketua Muda Bidang Pidana Umum Adi Andojo Sucipto
diberhentikan dengan hormat. Sebagai anggota masyarakat yang masuk
dalam barisan "intelek-tual", kita tentu akan bertanya bagaimanakah
sebenarnya sistem kekuasaan kehakiman kita di Indonesia ini?

Walaupun pengusulan pemecatan itu memang dimungkinkan oleh UU, namun
sangat terkesan bahwa Ketua MA seperti mencari-cari celah agar bisa
memecat Adi Andojo. Alasannya, seperti kita sudah dengar, sangat tidak
kuat.

Ketua MA sebaiknya menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat alasan
pemilihan pasal 11 huruf D dari UU No 14 tahun 1985 tentang MA yang
dipakai dalam kasus Adi Andojo itu. Jika dikatakan bahwa Adi Andojo
sebagai Hakim Agung sudah tidak mampu menjalankan tugasnya, berarti ia
sudah tidak mampu mengambil keputusan berdasarkan UU dan
peraturan-peraturan yang berlaku. Atau sudah tidak bisa mengambil
keputusan dengan rasa seadil-adilnya, sehingga menimbulkan gejolak di
masyarakat. Jika memang ketentuan itu dikenakan kepada Adi Andojo,
sebaiknya Ketua MA memberikan penjelasan lebih lanjut kepada
masyarakat.

Rasanya telah terjadi kemerosotan wibawa hukum lembaga MA sebagai
benteng terakhir dan penegak keadilan. Hasil kerja Korwasus
(Koordinator Pengawasan Khusus) MA tentang isu kolusi di MA perlu
ditindaklanjuti, terutama temuan tentang adanya penyimpangan prosedur
dalam pembagian perkara.

Dalam hal ini DPR perlu segera mengambil inisiatif dalam menelusuri
isu kolusi itu. Kenyataannya, masalah tersebut belum final. Sebaliknya
justru berkembang menjadi pembicaraan yang panjang dan rumit.

Landasan hukum bagi DPR untuk mengatasi masalah itu antara lain karena
sistem yang dianut Indonesia adalah check and balance system, sehingga
kekuasaan yang terbagi dapat saling mengontrol. Kalau presiden yang
mengangkat orang-orang di MA belum mengambil inisiatif, DPR pada
dasarnya dapat membentuk tim pencari fakta yang tujuannya menuntaskan
masalah terkait. Sebab, masalah yang satu ini mendapat sorotan dari
sebagian besar masyarakat.

Persoalan Tata Negara

Apa yang terjadi saat ini, menurut aktivis Elsam Abdul Hakim Garuda
Nusantara (Kompas, 15/7) sudah bukan lagi sekadar masalah
administrasi, melainkan melebar ke permasalahan tata negara, fungsi
lembaga-lembaga negara dan bagaimana menjalankan UU. Karena itu hal
itu harus dikaji ulang, agar dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa
DPR sebagai wa-kil rakyat memiliki perhatian terhadap masalah
tersebut. Upaya beberapa unsur di MA untuk memperkecil masalah ini
ternyata tak mampu menangkal krisis kepercayaan masyarakat. Hal itu
mendasar sifatnya, karena tidak mungkin lembaga ini membersihkan
dirinya sendiri. Harus ada kontrol eksternal dan internal.

Ketua MA Soerjono sejak awal mengambil tindakan yang tidak tepat.
Karena itu pantas bila kesalahan itu terus berbiak. Kesalahan dimaksud
antara lain membentuk Korwasus MA, menolak konsultasi DPR, mengajukan
usulan pemecatan Adi Andojo sebagai Hakim Agung (kepada Presiden),
serta bungkam terhadap pers (yang sama artinya bungkam terhadap
keterbukaan masyarakat sipil).

Langkah-langkah itu akhirnya hanya memperlebar permasalahan dengan
mengalihkan perhatian masyarakat, agar tidak mempertimbangkan
siapa-siapa yang kemungkinan terlibat. Kalau dicermati, akan terlihat
keanehan pihak MA dalam upaya membungkam isu kolusi sebagaimana
diungkapkan oleh Adi Andojo dalam surat rahasia MA yang bocor itu.

Upaya pihak MA untuk membantah isu itu tampaknya disebabkan oleh
ketakutan untuk menghadapi pertanyaan masyarakat yang semakin
bertubi-tubi. Masyarakat akan mempertanyakan tanpa rasa puas,
siapa-siapa lagi yang terlibat dan ikut kecipratan.

Padahal, sekarang ini harapan masyarakat akan penegakan hukum begitu
besar. Semakin naiknya mobilitas, masyarakat makin menyandarkan
urusan-urusannya pada ketegasan hukum yang profesional, dan jarang
sekali menangani sendiri persengketaan yang menimpanya. Mereka akan
terus berjuang untuk memperoleh keadilan sampai tingkat terakhir,
yaitu MA. Dan justru yang berjuang lewat jalur hukum sampai pada
tingkat yang terakhir ini adalah mereka-mereka yang "yakin dirinya
benar".

Karena itu, konsistensi pengadilan terhadap keputusan MA adalah sangat
pen- ting. Keputusan yang dibuat oleh MA da-pat dijadikan
jurisprudensi. Jurisprudensi ini pada gilirannya berdampak pada
perubahan sosial. Dalam hal ini barangkali kita bisa mengingat kasus
Marsinah yang beritanya disambut gembira. Atau kasus Kedungombo dan
kasus Tempo yang beritanya disambut sedih. MA secara hukum dan moral
bisa mengajari para profesional polisi, jaksa, hakim, saksi, pembela,
dll - untuk lebih teliti dan berhati-hati memeriksa tersangka yang
melakukan tindak pidana. Citra para profesional dengan demikian juga
menjadi semakin baik.

Itulah sebabnya mengapa kita masih perlu percaya, bahwa MA melalui
keputusan-keputusan hukumnya dapat bertindak benar dan pada tempatnya
dengan memberi sumbangan yang berharga bagi pengembangan hukum dan
perubahan sosial yang positif bagi bangsa yang tercinta ini. ***

Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia

Suatu masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan hukum-hukum yang dapat mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur apakah hukum yang dipilih atau diciptakan turut mempromosikan efisiensi ekonomi, maka diperlukan pendekatan terhadap hukum yang tidak semata-mata hukum an sich. Oleh karena itu tulisan ini membahas suatu pendekatan terhadap hukum yang semakin hari semakin berkembang, yakni “Economic Analysis of Law”.
Dalam tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of Law di Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat bahwa pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus pembahasannya adalah mengenai fenomena-fenomena yang menjadi kecenderungan di bidang hukum bisnis, yang secara implisit maupun eksplisit dapat menimbulkan ketidakefisienan (inefficient). Kecenderungan-kecenderungan tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan, ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis, serta adanya ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan.
Analisis Ekonomi Atas Hukum
Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui pemikiran utilitarianisme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun 1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker (1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum; Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of Legal Studies”.ii
Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan pendekatannya untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau ‘descriptive’, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effects of a legal rule); dan analisis yang bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal rule). Pendekatan yang dipakai Analisis Ekonomi Atas Hukum terhadap dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah laku, baik manusia secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat.iii
Steven Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih lanjut mengenai analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis Ekonomi Atas Hukum dengan mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari analisis dimaksud. Dengan analisis deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana orang bertindak untuk memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang diharapkannya. Sebagai contoh adalah pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya, walaupun misalnya orang tersebut mempunyai asuransi, dapat dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka akibat kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko diajukan ke pengadilan. Sedangkan dengan analisis normatif dapat diterangkan bahwa satu aturan hukum tertentu lebih baik dari aturan hukum lain bilamana memberikan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang dapat diberikan misalnya bilamana masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi jumlah kecelakaan lalu lintas, maka aturan hukum yang terbaik adalah yang memberikan hukuman atau sanksi bagi penyebab-penyebab kecelakaan.iv
Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum tidak terbatas pada dua permasalahan dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun meluas pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-permasalahan hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut :
“A study of many applications of economic reasoning to problems of law and public policy including economic regulation of business; antitrust enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and contract law and remedies, and civil or criminal procedures. No particular background in economics is required; relevan economic concepts will developed through analysis of various legal applications.”v
Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum Di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan kebijakan, baik pada tingkat pembentukan, implementasi maupun enforcement peraturan perundang-undangan telah sangat berpengaruh di Indonesia. Secara resmi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan salah satu arah Kebijakan Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum, yakni mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan satu indikator kuatnya pengaruh atau tujuan ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia.
Memang secara teoritis konseptual, aliran Analisis Ekonomi Atas Hukum belum fenomenal dan melembaga di Indonesia, sebagaimana menimpa juga aliran-aliran hukum lain. Sehubungan dengan gejala tersebut, relevan mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim, bahwa di Indonesia kajian-kajian yang merupakan kritik-teori atau doktrin atas suatu paradigma atau pendekatan tertentu dalam kajian hukum kurang berkembang. Ahli-ahli hukum di Indonesia kurang bergairah dalam melakukan penjelajahan teoritis atas berbagai paradigma dalam ilmu hukum atau taking doctrine seriously.vi Meskipun demikian perbincangan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum bukannya sama sekali tidak ada. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam teks oratio dies Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka berpikir :
1. Berdasarkan pengamatan empiris upaya perlindungan lingkungan yang hanya digantungkan pada penggunaan instrumen hukum (legal instruments) terbukti kurang efektif.
2. Praktek-praktek perlindungan lingkungan di negara lain, ternyata sudah menerapkan konsep mixed-tools of compliance, dimana instrumen ekonomi (economic instruments) merupakan salah satu insentif yang membuat potensial pencemar mematuhi ketentuan Hukum Lingkungan.
3. Terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup yang memberikan dasar hukum yang kuat untuk menerapkan konsep mixed-tools of compliance.vii
Konsern atas pendekatan ekonomi terhadap hukum juga diberikan oleh Thee Kian Wie, yang menekankan perlunya aspek ekonomi diperhatikan dalam implementasi UU No. 5/1999 dengan mengemukakan bahasan pengkategorian monopoli, persaingan tidak sehat, kartel, price fixing, market division, merger, cross-shareholding, dan sebagainya.viii Tidak kalah menariknya juga pembahasan Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan dengan pendekatan ekonomi. Sambil mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa :
“…, ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan.”ix
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang diharapkan. Kajian yang semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan lebih memberikan manfaat bagi perancangan sistem hukum, pembentukan, penerapan dan enforcement peraturan perundang-undangan, mengingat sebagaimana perkembangan di Amerika Serikat, pendekatan ekonomi atas hukum telah menggejala di setiap bidang hukum.
Implementasi Dalam Hukum Bisnis
Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum, terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka di bawah akan dikritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement dari peraturan perundang-undangan.
Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy Sjahdeini memberikan komentar terhadap pasal tersebut dengan mengatakan tidak jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil, mengingat di dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup dibuat dengan akta di bawah tangan.x
Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya berupa pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan. Secara ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para debitor, terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik sekarang ini, walaupun mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa notaris yang ijin prakteknya di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut dapat secara sewenang-wenang untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan akta.
Sebelumnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) ditetapkan juga bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Alasan penerapan ketentuan ini adalah bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak di daerah kerjanya.
Terhadap ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama berkenaan dengan pembebanan yang secara ekonomis memberatkan debitor pengusaha lemah. Menanggapi hal tersebut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, pemerintah memberikan kemungkinan bagi SKMHT jenis kredit tertentu berlaku sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Kecenderungan tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (RUU-PP) yang dibuat oleh DPR, yang menetapkan bahwa akta perjanjian kredit dibuat di hadapan notaris.xi Oleh karena itu terdapat pandangan sinis di masyarakat dengan menyebutkan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan seperti itu sebagai hasil dari ‘Notaris Connection”.
Kritik inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas juga menimpa profesi hukum lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang Kepailitan, menetapkan bahwa permohonan berkenaan dengan proses kepailitan harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek (dalam hal ini izin praktek pengacara kepailitan). Permohonan tersebut antara lain berupa permohonan pernyataan pailit, permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator, permohonan Kasasi, pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan Kembali, permohonan penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan syarat-syarat penangguhan, tuntutan pembatalan perdamaian, serta permohonan rehabilitasi di bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya penggunaan penasehat hukum yang memiliki izin praktek tersebut, memang masuk di akal bilamana dihubungkan dengan singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses acara kepailitan serta diperlukannya spesialisasi dan professionalitas pengacara kepailitan. Namun ditinjau dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan tertentu untuk ikut dalam ujian kepengacaraan, seperti kalangan internal corporate lawyer BUMN, maka secara ekonomis bagi perusahaan-perusahaan BUMN, Pasal 5 Undang-undang Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi karena dianggapnya pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga tidak diperkenankan ikut dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana internal corporate lawyer BUMN diperkenankan memiliki sertipikat pengacara kepailitan, maka proses acara kepailitan tidak perlu diwakili oleh external corporate lawyer yang berbiaya tinggi.
Kedua berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)xiii, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv yang dilakukan secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan menimbulkan pemborosan. Segala biaya untuk pelaksanaan tugas lembaga-lembaga tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Padahal di Amerika Serikat sendiri sebagai negara pelopor persaingan usaha sehat dan perlindungan konsumen, tugas sebagaimana dibebankan kepada KPPU, BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan tugas satu lembaga yang bernama Federal Trade Commission (FTC). Sebagai bahan perbandingan di bawah ini dikutipkan posisi dan tugas FTC antara lain sebagai berikut :
“The basic objective of the FTC is to promote free and fair trade competition in the American economy. … It provides guidance to business and industry on what they may do under the laws administered by the commission. It also gathers and makes available to Congress, the president, and the public factual data on economic and business conditions.
The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.”xv
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan dikemukakan berkenaan dengan gagasan pembentukan lembaga penunjang hukum bisnis, sehingga nilai efisiensi dari pembentukan lembaga tersebut dapat dimaksimalisasi. Contohnya bilamana suatu lembaga yang digagas, tugas-tugasnya mendekati atau dapat dibebankan kepada lembaga yang sudah ada, maka tidak perlu membentuk lembaga baru.
Permasalahan lain yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para pihak sendiri telah memilih penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut :
“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”
Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.
Penutup
Dengan memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum, serta melibatkannya dalam kebijakan dan praktik hukum di Indonesia, maka menjadi lebih terbuka kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak alternatif pemikiran yang dapat disumbangkan dalam pengkajian hukum di Indonesia. Tulisan ini merupakan pengantar bagi studi yang lebih jauh terhadap Analisis Ekonomi Atas Hukum, namun demikan pada tingkatnya yang sangat minimal telah dapat memunculkan salah satu kritik penting berkenaan dengan masalah economic efficiency yang secara tidak sadar ada dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia. Oleh karena itu relevan kiranya untuk masa yang akan datang, memfungsikan model Analisis Ekonomi Atas Hukum disamping model teori hukum lain ke segenap proses hukum di Indonesia, baik dalam tingkat pembentukan, penerapan atau penegakan hukum dan dalam menganalisis doktrin serta menguji keabsahan suatu sistem sosial dan kebijakan-kebijakan tertentu.
Kepustakaan
• Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28 - Tahun VIII, Jakarta, 1997.
• Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II, Jakarta, 2000.
• Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999.
• Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan, teks oratio dies, Jakarta, 1995.
• Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/.
• Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, Jakarta, 2000.
• Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, Jakarta, 1999.
Endnote
i) Ronald Coase adalah pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi. Pendekatannya terkenal dengan nama ‘the Coase Theorem’, yang memberi penafsiran baru terhadap teori eksternalitas (externality), yakni berkenaan dengan analisis situasi di mana tindakan seseorang mengakibatkan beban biaya (atau keuntungan) bagi orang lain.
ii) Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999, hal. 1.
iii) Ibid., dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/, Chapter 1, hal. 1.
iv) Steven Shavell, Economic Analysis of Law, Chapter 1, hal. 1.
v) Definisi yang diberikan website resmi William and Mary School of Law, http://www.wm.edu/.
vi) Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II - 2000, hal. 23.
vii) Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan, 1995, hal. 2.
viii) Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, 1999, hal 60.
ix) Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28/Tahun VIII/Maret/1997, Jakarta, hal. 4.
x) Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, 2000, hal. 43.
xi) Pasal 27 Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (draft pertama).
xii) Dibentuk berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
xiii) Dibentuk berdasarkan Pasal 31 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
xiv) Dibentuk berdasarkan Pasal 49 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
xv) Microsoft Encarta Reference Suite 2001, CD-ROM Encyclopedia.