Laman

Rabu, 13 Juli 2011

PROFESIONALISME POLISI REPUBLIK INDONESIA DI MATA MASYRAKAT SEBAGAI PROFESI HUKUM


PROFESIONALISME POLISI REPUBLIK INDONESIA
DI MATA MASYRAKAT SEBAGAI PROFESI HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia secara normatif-konstitusional adalah negara berdasarkan hukum, atau yang sering disebut sebagai negara hukum. Ditengah-tengah itu, polisi merupakan salah satu pilar yang penting, karna badan tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan janji-janji hukum menjadi kenyataan. Kita dapat melihat pada era Reformasi telah melahirkan paradigma baru dalam segenap tatanan kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara yang ada dasarnya memuat koreksi terhadap tatanan lama dan penyempurnaan kearah tatanan indonesia baru yang lebih baik. Paradigma baru tersebut antara lain supermasi hukum, hak azasi manusia, demokrasi, transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam praktek penyelenggara pemerintahan negara termasuk didalamnya penyelenggaraan fungsi Kepolisian.
Pengidentifikasian polisi sebagai birokrasi kontrol sosial memang memberi deskripsi mengenai polisi itu. Polisi seyogyanya kita lihat tidak hanya menjalankan kontrol sosial saja, melainkan juga memberi pelayanan dan interpretasi hukum secara konkrit, yaitu melalui tindakan-tindakannya. Dengan kontrol sosial, pelayanan dan agen interpretasi tersebut menjadi lebih lengkaplah bahwa polisi mewujudkan janji-janji hukum.
Tetapi pengidentifikasian yang demikian itu masih belum juga memuaskan untuk melihat apa dan siapa po0lisi itu, apa yang dikerjakannya dan lain sebagainya, secara lebih seksama. Dirasakan, bahwa badan yang namanya polisi itu tidak bisa hanya dilihat sebagai aparat atau birokrasi penegakan hukum belaka. Apabila kiya mendekati dan menelaahnya secara sosiologis, cukup banyak “misteri” yang terkandung dalam pekerjaan polisi. Artinya, ia tidak bisa diukur dengan ukuran hukum.
Dimanapun dunia ini, kepolisian akan selalu ditarik kedua arah yang berbeda, yaitu arah formal prosedural dan arah sosiologis substansial .Keadaan dasar seperti itu mendorong kita untuk memahami pekerjaan kepolisian sebagai sesuatu yang “ berakar peraturan” dan sekaligus juga “ berakar prilaku”. Kalau mempelajari kepolisian juga berarti berusaha memberikan penjelasan mengenai objeknya, seperti lazimnya aturan main dalam ilmu pengetahuan, maka kita tidak akan bias memahami pekerjaan kepolisian dengan sebaik-baiknya, tanpa masuk kedalam hakikatnya sebagai suatu pekerjaan yang berakar prilaku itu.Penegakan hukum, penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelayanan dan pengayoman masyarakat adalah tugas pokok polisi sebagai profesi mulia, yang aplikasinya harus berakibat pada asas legalitas, undang-undang yang berlaku dan hak azasi manusia. Atau dengan kata lain harus bertindak secara professional dan memegang kode etik secara ketat dan keras, sehingga tidak terjerumus kedalam prilaku yang dibenci masyarakat .
Kenyataan masih menunjukan , bahwa polisi lebih di kenal oleh masyarakat sebagai badan yang pekerjaannya memburu dan menenangani kejahatan. Mendengar kata polisi, segera saja pikiran masarakat tertuju pada pencurian, perampokan, pembunuhan , dan sebagainya. Atau, yang lebih ringan, kemacetan lalu lintas. Masyarakat dan polisinya merupakan dua kegiatan yang tidak bisa di pisahkan. Tanpa masyarakat, tidak akan ada polisi dan tampa polisi, proses-proses dalam masyarakat tidak akan berjalan dengan lancar dan produktif. Susah sekali untuk menemukan celah-celah di mana polisi tidak di perlukan. Bahkan rumputpun telah menjadi syahabat polisi. Hal ini bisa di saksikan di lapangan yang di capai papan bertuliskan “Dilarang Berjalan di Rumput” Larangan tersebut mengiplikasikan kerja pemolisian, karena sekaligus mengundang polisian untuk mengamankan larangan tersebut. Tanpa kehadiran polisi, tidak ada yang akan mengamankan larangan tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh prof. Satjipto Rahardjo bahwa “perilaku polisi adalah wajah hukum sehari-hari”. Apabila kita menyadari bahwa polisi merupakan ujung tembok penegakan hukum, yang berarti :polisilah yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar hukum dalam usaha menegakan hukum . Dengan demikian, bagaimana perilaku polisi dengan cara-cara kotor dan korup, maka secara otomatis masyarakatpun memandang hukum sebagai sesuatu yang kotor dan korup, juga andaikan pemolisian dikerjakan dengan baik, maka wajah hukum punakan dipandsang baik. Karena itu, pandangan masyarakat tentang polisi akan membawa implikasi pada pandangan mereka terhadap hukum. Pekerjaan pemolisian yang tertanam kedalam masyarakat dapat kita lihat bagaimana struktur sosial, kultural dan ideologis telah menentukan pemberian tempat kepada polisi dalam masyarakatnya, bagaimana ia diterima oleh masyarakat, dan bagaimana ia harus bekerja.
Kekuasaan tunggal negara ditanggan kepolisian pada abad ke-6 dan wewenang kepolisian yang terjadi alat kekuasaan dimasa penjajahan hindu belanda dahulu terhadap rakyat menggandung kosekwensi polisi berdarah panas, sehingga kurang dekat hubunggan antara polisi dimata rakyat.
Pertumbuhan kepolisian dewasa ini telah berubah doktrinnya, menjadi “friends partners and dependers of citizen”, dalam arti polisi sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dari pada urusan kekuasaan negara.Perihal sorotan berupa keritikan maupun hujatan terhadap kepolisian, umumnya komunitas aparat kepolisian sudah amat siap menghadapinya. Sebagian dikarenakan secara faktual polri memang nyata-nyata masih mengidap berbagai kelemahan sehingga pantas dikeritik. Sebagian lain dikarenakan kuatnya pemahaman bahwa semua keritik dan bahkan hujatan dari anggota-anggota masyarakat tersebut pada dasarnya adalah bentuk lain dari kecintaan masyarakat terhadap polri.
Pergeseran serta perubahan dalam fungsi yang harus dijalankanoleh suatu badan dalam masyarakat merupakan hal yang biasa. Hal yang agak istimewa adalah bahwa kita sekarang hidup dalam dunia dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang sangat intensif dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu.
Pekerjaan polisi yang berhadapan langswung dengan masyarakat itu berkualitas penuh, sehingga tidak hanya bisa dikatakan, bahwa mereka berhadapan dengan rakyat, melainkan lebih dari itu; berada ditenggah-tenggah rakyat. Polisi juga disebut-sebut sebagai melakukan jenis pekerjaan yang tidak sederhana, yaitu melakukan pembinaan dan sekaligus pendisiplinan masyarakat. kedua-duanya memiliki ciri-ciri yang beda sekali, yang disatu pihak bisa bisa dilambangkan dalam bentuk “ pistol dan borgol”, sedang dilain pihak mempolisi masyarakat “dengan hati” atau “setangkai”
Berbagai alasan memang bisa dikemukakan untuk mencoba menjelaskan mengapa begitu besar perhatian masyarakat terhadap polisinya. Mungkin karena ketertiban, keamanan dan ketentraman merupakan hal-hal yang sangat merisaukan masyarakat, sedang polisilah yang bertugas untuk menanganinya. Hal tersebut mungkin juga disebabkan karna polisi merupakan birokrasi yang bekerja secara langsung ditenggah-tenggah masyarakat, sehingga resiko bagi terjadinya pergeseran dan pembenturan dengan masyarakat juga menjadi tinggi. Karena begitu dekatnya polisi dengan masyarakat, maka masyarakat pun banyak harapan kepada polisinya, sehingga demikian kinerja polisi pun banyak mendapat perhatian.
Sebagai bahan untuk meningkatkan diri, citra polisi yang dad harus diperjelas dengan alasan yang menyertai citra tersebut. Citra polisi bisa terbentuk setidaknya melalui dua pandangan yaitu pandangan obyektif dan subyektif. Secara obyektif masih ada kekurangan-kekurangan pada polisi, misalnya kekurangan personil anggaran dan sarana prasarana. Namun kondisi obyektif polisi saat ini bisa dipersepsikan berbeda-beda menurut pihak yang menilai. Masyarakat bisa memandang polisi berdasar standar, nilai, latar belakang dan pengalaman mereka. Pandangan subyektif ini berkembang terus dimasyarakat.
Salah satu tantangan yang dihadapi polisi dalam pelaksanaan tugas kesehariannya adalah adanya kesenjangan masyarakat atas tugas-tugas polisi seharusnya dengan kenyataan yang terjadi ditenggah-tenggah masyarakat. untuk mencapai pelaksanaan tugas kepolisian tersebut, polisi melakukan sejumlah tindakan-tidakan sesuai tugas dan wewenang yang diberikan dalam pengertian bahwa kepolisian harus menjalankan tugas dan wewenangnya setiap waktu meliputi : pelayanan masyarakat, menjaga ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum.Profesionalisme polisi dapat tumbuh melalui peningkatan standar profesi yang tinggi dan tugas profesi sebagai panutan sadar hukum serta prilaku sesuai dengan hukum yang dicetuskan mulai dari sistem “ recruitmen and training” kepolisian sesuai dengan tuntutan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Adalah mustahil untuk mewujudkan penampilan kerja polisi dalam bentuk yang ideal. Yang dapat dilakukan, baik oleh pimpinan polri maupun unsur-unsur lain dimasyarakat, adalah mempersempit jarak antara identitas tersebut dengan realitas yang hidup dewasa ini. Mangkin semit atau lebih lebarkah jarak itu, antara lain dapat diukur lewat berbagai respon masyarakat terhadap penampilan kerja anggota-anggota polri.
Pandangan diatas sesungguhnya kurang menggambarkan apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam tubuh kepolisian. Dapat disebut bahwa kepolisian telah terjadi pergeseran yang makin terasa kuat dari polisi sebagai “Pemburu Kejahatan” kepada polisi yang menjalankan “pekerjaan sosial”. Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak hanya mengandung isi sosial biasa,melainkan juga ekonomi, politik dan kebudayaan.
Kedudukan Polri yang berbeda ditengah-tengah masyarakat akan dapat mempengaruhi kinerjanya dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam ilmu sosial dan semacam konsep stgmatis yang mengatakan, bahwa lembaga-lembaga dalam suatu masyarkat akan membawa ciri masyarakat bersangkutan. Konsep tersebut lalu dituangkan kedalam rumus, “bagaiman masyrakatnya, begitu pula lembaganya”. Dengan demikian bisa dikatakan juga, bahwa masyarakat akan mempunyai lembaga-lembaganya yang berkualitas sama dengan kualitas masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa stempel masyarakat akan selalu melekat pada sekalian lembaga yang dimiliki masyarakat tersebut. Polisi sebagai salah satu lembaga dalam masyarakat tidak merupakan perkecualian, kualitas pekerjanya juga akan sangat ditentukan oleh keadaan, watak serta kualitas masyarakat disitu. Dengan demikian, stempel masyarakat indonesia juga melekat pada Polri.
Harapan masyrakat terhadap kepolisian itu sebenarnya hanya dua hal : Pertama, mereka membutuhkan keamanan dan perlindungan Polri secara maksimal baik atas dirinya, maupun keluarga nya dan harta bendanya; kedua, mereka menginginkan pelayanan yang lebih baik dari Polri.Dari kondisi mekanisme penegakan hukum dengan berbagai kendalanya bukan saja membuat mekanisme penegakan hukum menjadi tak sesuai yang diharapkan,lebih dari itu adalah munculnya berbagai keluhan masyarakat tentang pelaksanaan tugas dan pungsi kepolisian. Berbagai keluhan masyarakat ( public complint ) tersebut antara lain adalah : polisi lalu lintas yang kerap terlambat hadir di jalan yang macet, atau anggota satuan bhyangkara ( Sabhra ) yang meminta “ salam tempel “ dari kendaraan-kendaraan angkutan, adalah salah satu citra polisi yang tertanam dibenak masyarakat. contoh lain, adalah sikap anggota reserse yang ogah-ogahan dalam menuntaskan kasus, atau petugas binmas yang “ asal sudah selesai” saat memberi penyuluhan. Mau tak mau juga masih merupakan gambaran yang dipersepsikan oleh masayrakat tentang pribadi polisi dan organisasi kepolisian dewasa ini.
Hasil penelitian PSKP UGM tahun 1998-1999 bekerjasama dengan Dinas Penelitian dan Pengembangan Mabes Polri menunjukkan hasil, pada bidang penegakan hukum masih tingginya pelanggaran hukum oleh anggota dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian, yang tercermin adanya moral yang rendah, pada bidang keamanan masih ada tingginya rasa tidak aman, pada bidang pelayanan terdapat kewibawaan anggota yang rendah. Selanjutnya penelitian tersebut memokuskan pada penyebab utama rendahnya profesionalisme polisi karena aspek structural, institusional dan kultural. Jati diri Polri menunjkkan indikasi profesionalisme rendah, militeristik, sehingga sikap pelayanan kaku, kapasitas intelektual anggota bintara dan tamtama rendah, komunikasi kerja yang patuh saja pada atasan, dan kurang peluang untuk berlaku kritis. Hasil penelitian tersebut perlu ditindak lanjuti guna meningkatkan profesionalisme Polri.
Upaya meningkatkan profesionalisme dapat pula dilihat dari pelepasan POLRI dari struktur organisasi ABRI mulai tanggal 1April 1999. kebijakan tersebut setidaknya telah memberi nuansa baru bagi Polri sendiri, paling tidak Polri sudah bisa “mandiri” didalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Polri dapat benar-benar bertindak sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.
Adapun pentingnya penelitian tentang Analisis kinerja polri yakni melihat lebih jauh sektor-sektor rell kenerja Polri,sebagai bahan pertimbambangan dan menjadi sebuah aturan hukum dari sebuah lembaga organisasi formal yang mungkin menjadi sebuah acuan pembelajaran, apa saja yang telah dikerjakan, dan melihat lebih dalam kinerja-kinerja polri yang dalam hal ini sudahkah dapat dikatakan Profesional dalam mengemban tugas-tugas negara.
Berdasarkan uraian diatas, pada dasarnya persepsi tentang kinerja Polri merupakan masalah penting yang perlu dilihat lebih lanjut dalam dalam rangka mewujudkan profesionalisme polisi dalam menaggapi tantangan yang semakin berat.
B.BATASAN MASALAH
Dari uraian latarbelakang diatas, masalah yang dapat saya rumuskan adalah:
  1. Pengertian professional,
  2. Konsep Kepolisian,
  3. Visi,Misi,Tugas, Wewenang dan Fungsi Kepolisian Republik Indonesia,
  4. Konsep mengenai Diskresi Kepolisian,
  5. Bagaimana kinerja kepolisian dalam hal pelaksanaan tugas sebagai pelayan masyarakat,Penegakan hukum dan Pembinaan Kamtibmas,
  6. Langkah apa saja yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian menuju tercapainya profesionalisme polisi,
BAB II
PEMBAHASAN
A.KONSEP PROFESIONAL
Profesionalisme Orang sering menyebut, baik dalam tulisan maupun pidato tentang profesionalisme Polri tanpa memahami hakiki makna dan aplikasinya dilapangan. Sehingga pengertian dasarnya kabur karena membentuk bentangan spektrum yang luas mulai dari pengertian yang ekstrim sulit sampai dengan yang sederhana saja.
Untuk itu, kami akan mengemukakan beberapa pendapat mengenai pengertian profesional agar dapat membantu dalam memahami makna serta penggunaan yang tepat dilapangan.
Kata profesional mempunyai makna sebagai berikut:
1. Profesi = Bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu. =
  1. bersangkutan dengan profesi,
  2. memerlukan kepandaian khusus untuk melakukannya,
  3. mengharuskan adanya bayaran untuk melakukannya.
2. Profess =
  1. pura-pura berlagak tidak tahu,
  2. mengumumkan secara terang terangan/secara terbuka,
  3. mengaku,
  4. menganut,
  5. bekerja sebagai.
Profession =
  1. Profesi, jabatan yang memerlukan pendidikan seperti kedokteran, pengajaran, pemerintahan,
  2. pejabat,
  3. pengakuan.
Profesional =
  1. berkenaan dengan jabatan, atau profesi (kode etik),
  2. pemain bayaran,
  3. ahli.
3.Profesional = mengenai profesi ; (mengenai) keahlian ; masuk golongan terpelajar/ ahli; pemain bayaran. Sedangkan menurut LEGGE dan EXLEY, merumuskan kriteria dan ciri-ciri profesionalisme sebagai berikut:
  1. Keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis.
  2. Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan kemampuannya diakui oleh rekan sejawatnya.
  3. Adanya “ Organisasi Profesi “ yang menjain berlangsungnya budaya profesi melalui persyartan untuk memasuki organisasi tersebut, yaitu : ketaatan pada “ kode etik profesi”.
  4. Adanya nilai khusus, harus diabadikan pada kemanusian.
Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat diambil sesuatu kesimpulan bahwa prefesionalisme adalah tindakan yang dilandasi dengan keahlian tertentu yang diperoleh melalui pendidikan tertentu dan dilaksanakan dengan memenuhi kode etiknya.
B.KONSEP KEPOLISIAN
a. Asal Kata dan Pengertian.
Kata “polisi” dalam bahasa indonesia merupakan kata pinjaman dan jelas berasal dari kata belanda “politie”. Adapun kata Belanda “politie” didasarkan atas serangkain kata Yunani Kuno dan Latin yang berasal dari kata Yunani-Kuno “polis”.Kata tersebut berarti “kota” atau “negara kota”. Atas dasar perkembangan itu maka kata “polis”, mendapat pengertian “negara” dan dalam bentuk-bentuk perkembangannya masuk unsur “pemerintah” dan lain sebagainya. Kata Yunani kuno tersebut masuk kedalam bahasa Lain sebagai “poliyia” dan kata itulah yang diduga menjadi kata dasar kata “police” (Inggris), “ politie” (Belanda), “polisi” (Indonesia).
Bilamana secara tepat kata “polisi” mendapat arti yang kini digunakan, sulit dipastikan. Namun demikian, perkembangan sebagimana dicatat di inggris, yang dicatat penggunaan kata “police” sebagai kata kerja yang berarti “memerintah” dan “mengawasi” (sekitar tahun 1589). Selanjutnya sebagai kata benda diartikan “pengawasan”, yang kemudian meluas dan menunjukkan “organisasi yang menangani pengawasan dan pengamanan” (tahun 1716).
Di Indonesia, istilah polisi ‘ digunakan dalam pengertian “organisasi pengamanan” pada abad ke-19 dalam interregum Inggris dari 1811 – 1817. wilayah Indonesia saat itu merupakan bagian dari wilayah yang dipimpin “bupati” masing-masing diserahi tugas pengamanan terib hukum dan polisi bertanggungjawab pada bupati setempat itu.
Dari kata “polisi” tersebut. Kemudian para cendikiawan Kepolisian menyimpulkan bahwa terdapat 3 pengertian, yaitu :
1)      Polisi sebagai fungsi,
2)      Polisi sebagai organ kenegaraan dan
3)      Polisi sebagai jabatan atau petugas. Yang banyak disebut sehari-hari adalah pengertian polisi sebagai pejabat atau petugas. tiga pengertian kata polisi tersebut, kadang dicampur adukkan oleh masyarakat, yang seharusnya diartikan sesuai dengan konteks yang menyertai. Oleh karena itu timbul penilaian yang sebenarnya untuk individu (pejabat) tetapi diartikan sebagai tindakan suatu lembaga (alat negara)
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia
Secara historis, posisi kelembagaan kepolisian sebagaimana dipaparkan oleh Harsja Bahtiar dalam bukunya Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru, bahwa pada masa penjajahan Hindia Belanda Kepolisian berada di bawah Procedur General (Jaksa Agung), baik itu Besturs Politie (Polisi Pamong Praja) maupun Algeneu Politie (polisi umum). Pada masa revolusi tanggal 19 agustus 1945, Kepolisian merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri.
C. VISI,MISI,TUGAS DAN WEWENANG SERTA FUNGSI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
1. Visi dan Misi Kepolisian RI
Berdasarkan Undang-undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, visi Polri adalah “Polri yang mampu menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai aparat penegak hukum yang profesional dan proporsional yang selalu menjunjung tinggi hak azasi manusia, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demikratis dan masyarakat yang sejahetera”.
Sedangkan Misi Polri yaitu :
  1. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyrakat (meliputi aspek security, surety, safety, and peace)
  2. Memberi bimbingan kepada masyarakat melalui upaya Pre-emtif dan Preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan hukum masyarakat.
  3. Menegakkan hukum secara bprofesional dan proposional dengan menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
  4. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap memperliahatkan norma-norma dan nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hokum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari gambaran Visi dan Misi Polri diatas dapat kita ketahui bahwa dewasa ini orientasi pelaksanaan tugas Polri adalah memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.
2. Tugas, Wewenang dan fungsi Kepolisian RI
Undang-undang No. 20 tahun 1982 Tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan Negara Republik Indonesia, pasal 30 ayat (4) merumuskan Tugas Pokok Polri sebagai berikut:
a)      Selaku alat Negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum dan bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya membina ketentaman masyarakat dalam wilayah Negara guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.
b)      Melaksanankan tugas Kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dalam pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan.
c)      Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan sebagaimana dihuruf adan huruf b ayat (4) pasal ini.
Dalam Undang-undang Kepolisian No. 2 tahun 2002, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah : Pertama, Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, kedua, menegakkan hukum, dan ketiga, Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Masih ada pasal lain yang menjabarkan tugas pokok Polri yaitu tercantum pada penjelasan pasal 39 ayat (2) UU no. 20 Tahun 1982, yaitu :
  1. Mengusahakan ketaatan diri dan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan
  2. Melaksanakan penyidikan perkara berdasarkan peraturan perundang-undangan
  3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat dan aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa
  4. Memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda dan lingkungan alam dari gangguan ketertiban atau bencana, termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan, yang dalam pelaksanaannya wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, hukum dan peraturan perundang-undangan.
  5. Menyelenggarakan kerjasama dan koordinasi dengan instansi, badan atau lembaga yang bersangkutan dengan fungsi dan tugasnya.
  6. Dalam keadaan darurat, bersama-sama segenap komponen. Kekuasaan pertahanan keamanan negara melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-undang Kepolisian No. 2 tahun 2002,tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, Kedua, Menegakkan hukum, dan Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dari uraian tugas diatas, pada hakekatnya tugas pokok Polri adalah menegakkan hukum, membina keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) serta pelayanan dan pengayom masyarakat.
Secara sektoral tugas pelayanan Polri kepada masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam struktur fungsi-fungsi sebagai berikut :
(a) Fungsi Intelpam
  1. Upaya pengamanan masyarakat terhadap segala bentuk ancaman untuk menghilangkan kerawanan-kerawanan Kamtibmas,
  2. Upaya pengamanan, pengawasan, perlindungan, dan penindakan terhadap orang asing,
  3. Penyidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran ketentuan perundang-undangan tentang orang asing,
  4. Pengamanan dan pengawasan perizinan senjata api, amunisi dan bahan peledak serta alat/bahan berbahaya lainnya,
  5. Penyelidikan terhadap penyimpan/penimbunan, penggunaan, pemindahan tangan senjata api, amunisi dan bahan peledak serta alat/bahan berbahaya lainnya termasuk radio aktif yang bukan organik ABRI,
  6. Upaya pengamanan atau pengawasan kegiatan masyarakat.
(b) Fungsi Serse
  1. Menerima laporan/pengaduan,
  2. Mendatangi TKP,
  3. Melakukan penindakan.
(c) Fungsi Samapta
  1. Menyelenggarakan dan melaksanakan tugas-tugas penjagaan, pengawalan,patroli dan tindakan pertama ditempat kejadian (TPTKP),
  2. Memberikan pertolongan dalam rangka SAR,
(d) Fungsi Lantas
  1. Surat Izin Mengemudi,
  2. Surat Tanda Kendaraan bermotor,
  3. Buku Pemilik kendaraan Bermotor,
  4. Menyelenggarakan pengawalan,
  5. Menangani laka lintas,
  6. Menyelenggarakan peraturan lalu lintas.
(e) Fungsi Bimmas
  1. Membimbing, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan, masyarakat guna terwujudnya daya tangkal dan daya cegah,
  2. Tumbuhnya daya perlawanan masyarakat terhadap kriminalitas serta terwujudnya ketaatan serta kesadaran hukum masyarakat,
  3. Pembinaan potensi masyarakat untuk memelihara dan menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang menguntungkan bagi pelaksanaan tugas kepolisian serta mencegah timbul faktor kriminogen,
  4. Pembinaan keamanan swakarsa,
  5. Menyelenggarakan dan memberikan bimbingan dan penyuluhan,
  6. Pembinaan dan bimbingan terhadap remaja dan anak-anak, kenakalan remaja.
(f) Fungsi Pembinaan Personnel
Fungsi ini dimasukkan ke dalam tugas-tugas pelayanan masyarakat mengingat dalam kenyataan sehari-harinya juga melayani para Purnawirawan,warakauri dan sebagian kelompok pemuda dalam rangka :
  • Penerimaan dan seleksi personel baru,
  • Administrasi pengakhiran dinas termasuk pembinaan administrasi purnawirawan/warakauri dan yatim piatu keluarga besar Polri.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, kepada masing-masing anggota polisi diberi wewenang. Wewenang kepolisian diatur dalam pasal 15 Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 :
1)      Menerima laporan dan pengadaan;
2)      Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
3)      Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
4)      Mencari keterangan dan barang bukti;
5)      Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional
6)      Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menganggu ketertiban umum;
7)      Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
8)      Mengawasi aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
9)      Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
10)  Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
11)  Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu;
12)  Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan;
13)  Mengeluarkan peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif Kepolisian yang mengikat warga masyarakat.
D.KINERJA POLRI DALM PELAKSANAAN TUGAS DAN PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI
a. Asal Kata dan Pengertian Kinerja
Kata kinerja berasal dari kata “kerja”yang artinya perbuatan melakukan sesuatu; sesuatu yang dilakukan (diperbuat). Kinerja merupakan faktor-faktor manifest dalam perilaku. dasar dasar teori yang akan dikemukakan tentang pemahaman kinerja sebagai berikut:
menurut WJS Purwodarminto:kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.
menurut Drs Paustino Cardoso G:kinerja adalah hasil kerja yang didapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya untuk mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legai tidak melanggar hukum dan sesuai dengan etika.
menurut Bernadin dan Russel Memberikan batasan mengenai kinerja atau performance sebagai berikut:“in the record of outcomes produced on a specifid job function or activity during a specifiet time periode”.“pengeluaran yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu”.
kinerja berasal dari kata” to perform” mempunyai istilah sebagai berikut:
1. melakukan, menjalankan, dan melaksanakan,
2. memenuhi atau menjalankan kewajiban dalam suatu permainan,
3. menggambarkan suatu karakter dalam suatu organisasi,
4. menggambarkan dengan sarana alat music,
5. melkasanakan atau menempurnakan tangguang jawab,
6. melakukan usaha kegiatan dalam suatu permainan,
7. melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin.
Jadi kinerja dapat diartikan perencanaan yang dilaksanakan untuk kelompok atau individu untuk mencapai tujuan atau hasil yang diharapkan sesuai dengan perencanaan.
b. Kinerja Polri
Kinerja polri mencakup faktor-faktor manifest dalam perilaku individu dan lembaga Polri. Kinerja polri merupakan fungsi dari pencapaian tujuan lembaga, baik berupa keberhasilan maupun kegagalan. Kinerja merupakan perilaku yang dapat diamati dan dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat. Pada dasarnya ada dua bentuk pengukuran kinerja kepolisian. Yang pertama adalah pengukuran secara kuantitatif, dan yang kedua pengukuran secara kualitatif. Bentuk kuantitatif ukuran kinerja adalah ukuran seperti jumlah pelanggaran lalu lintas yang fatal. Sedangkan bentuk kualitatif ukuran kinerja pada dasarnya terkait dengan pendapat masyarakat tentang polisi.
Kinerja Polri lebih mudah dipahami dalam pembagian sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya, yaitu kinerja di bidang hukum, kinerja di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat serta kinerja di bidang pelayan dan pengayom masyarakat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melihat kinerja Polri, yaitu :
  1. Bidang Penegakan Hukum.
Polisi adalah instansi yang berperan dalam penegakan hukum dan norma yang hidup dalam masyarakat (police as an enforment officer). Pada pelaksanaan demikian, polisi adalah instansi yang dapat memaksakan berlakunya hukum. Manakala hukum dilanggar, terutama oleh perilaku menyimpan yang namanya kejahatan, diperlukan peran polisi untuk memulihkan keadaan (restitutio in intreguman) pemaksa agar sipelanggar hukum menanggung akibat dari perbuatannya. Untuk mengetahui bagaimana hukum ditegakkan tidaklah harus dilihat dari institusi hukum seperti kejaksaan atau pengadilan, tetapi dilihat pada perilaku polisi yang merupakan garda terdepan dari proses penegakkan hukum.Sebagai penegak hukum, polisi adalah pribadi atau anggota yang menguasai pengetahuan hukum, bersifat jujur, bersih, berani bertindak dengan penuh tanggungjawab, sehingga hukum dapat ditegakkan.
  1. Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.
Sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kantibmas), polisi melakukan tugas mengantisipasi, menjaga dan mengayomi masyarakatnya dari perilaku jahat yang diperagakan para penjahit. Polisi bersamaan anggota masyarakat lainnya, menjalankan upaya preventif, yaitu mencegah terjadinya kejahatan. Polisi harus siap siaga terhadap keadaan yang mengancam keselamatan masyarakat.
Agar polisi mampu menyelesaikan berbagai permasalahan keamanan dan ketertiban yang muncul di tengah masyarakat, Amelia Yani, mengemukakan pentingnya kemesraan hubungan polisi dengan masyarakat (Dalam Polisi dan Polisi, 1995 : 75). Polisi harus mampu mendekati masyarakat melalui proses kondisioning secara bertahap dan keteladanan dari para anggota polisi, sehingga masyarakat semakin percaya kepada polisi. Dengan bekal kepercayaan tersebut, diharapkan masyarakat akan semakin lekat pada polisi.
Dalam pelaksanaan tugas Bimmas, Polri harus bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah,organisasi kemasyarakatan sampai kepada pemimpin-peminpin informal yang berpengaruh di daerah pedesaan.Memberikan penyuluhan pada masyarakat dan bimbingan pada remaja/anak-anak/pelajar/Mahasiswa/pemuda supaya taat pada hukum dan norma-norma yang ada. Fungsi ini penting dalam rangka peningkatan disiplin nasional
  1. Bidang Pelayanan dan pengayom Masyarakat.
Dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pelayan masyarakat setiap anggota kepolisian memerlukan sikap mental yang menyadari apa yang dimaksud dengan kata”pelayan”. Seorang pelayan tidak berada diatas.Setidak-tidaknya polisi harus menyadari bahwa kedudukannya sebagai warga negara adalah sama dengan warga masyarakat yang lain. Polisi harus memberikan apa yang diharapkan oleh yang dilayani, walaupun semuanya dilaksanakan dalam batas-batas ketentuan peraturan dan atau hukum yang berlaku.
Sebagai pengayom masyarakat, polisi memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk memberikan pertolongan dan perlindungan, menjadi teman siapapun yang memerlukan bantuan tanpa membedakan status sosial maupun status kekayaan, mengamati lingkungan yang dapat menimbulkan situasi yang tidak tertib, misalnya traffic light yang tidak menyala, dan memberikan saran kepada pihak yang bertanggung jawab untuk mengaturnya Baharudin Lopa mengemukakan, polisi harus menjadi pelayan yang terpercaya, artinya kapanpun dan dimanapun polisi berada,ia harus siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, memiliki integritas moral yang terpuji (disiplin, jujur dan sikap-sikap terpuji lainnya),karena betapapun profesionalnya seorang polisi, jika tidak memiliki moral yang tangguh, tidak akan pernah berhasil dalam mengemban tugasnya Tugas-tugas pelayanan dan pengayoman oleh polisi kepada masyarakat diaktualisasikan dalam tindakan konkrit yang sebenarnya sepele,tetapi maknanya dalam bagi masyarakat yang mengerti arti sebuah nilai pengabdian. Misalnya, polisi harus bersedia menyeberangkan orang tua atau anak-anak manakala jalanan ramai. Atau polisi harus terjaga dengan kewaspadaan tinggi ditengah malam saat warga masyarakat sudah terlelap dalam tidur.
D.KONSEP DISKRESI KEPOLISIAN
Konsep mengenai diskresi Kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undang-undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, yang berbunyi :
  1. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dlam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) taitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
Secara umum, kewenangan ini dikenal sebagai “diskresi kepolisian” yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban (PFLICHTMASSIGES ERMESSEN). Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 1, 32, dan 33 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Kepolisisan Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya.Rumusan dalam pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi pelaksanaan “diskresi” sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada awal tahun 1985 kita hanya mengenal istilah “Kode Etik Polri” , Kode Etik Polri ini ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud terkenal dengan “Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta pedoman pengamalannya” , yang biasa di ucapkan /diikrarkan sesaat menjelang akhir suatu pendidikan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan Kapolri No. Pol. : KEP/05/III/2001, serta Kep. Kapolri No.Pol : KEP/04/III/2001 tentang Buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik Polri. Adapun landasan dari Kode Etik Profesi Polri ini adalah UU. Kepolisian No. 28/ 1997.
Seiring dengan dikeluarkannya UU Kepolisian yang baru yaitu UU No. 2 tahun 2002, terdapat pula beberapa perubahan terhadap Kode Etik Profesi Polri. Pada UU.No.2/2002, yaitu pada bab V (pasal 31s/d 35) mengatur secara khusus mengenai “Pembinaan Profesi” (Polri). Salah satu upaya dalam rangka pembinaan Profesi Polri adalah melalui Pembinaan Etika Profesi, yaitu seperti pada pasal 32 (1) UU. No 2/2002 , yang berbunyi :
“Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi…..”.
Selanjutnya etika profesi ini kemudian diwujudkan pada apa yang disebut dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti yang diatur pada pasal 34 dan 35 UU. No. 2/2002 :
  • “Pasal 34 :
1)      Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2)      Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.
  • Pasal 35:
1)      Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2)      Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.” Ketentuan yang berkaitan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan amanat Undang-undang No.2/2002 pasal 34 & 35 kemudian di wujudkan melalui Kep. Kapolri No.Pol. : KEP/01/ VII/2003, tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kode etik ini adalah merupakan pedoman perilaku dan moral bagi anggota polri bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai upaya pemuliaan terhadap profesi kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian, sekaligus menjadi pengawas hati nurani setiap anggota agar terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.Kode etik profesi Kepolisian adalah merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya bersifat Normatif Praktis sehingga dapat digunakan untuk menilai kepatuhan dan kelayakan tindakan dari segi persyaratan teknis profesi .
Etika profesi Kepolisian memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu Etika Pengabdian, Kelembagaan dan Kenegaraan, yang pengertiannya adalah :
  • Etika pengabdian; merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Etika Pengabdian pada Kode Etik Profesi Kepolisian di jabarkan dalam pasal 1 s/d 7.
  • Etika kelembagaan; merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian dan patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat dan kehormatannya. Etika Kelemagaan dijabarkan pada pasal 8 s/d 12
  • Etika kenegaraan; merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Etika Kenegaraan ini dijabarkan pada pasal 13 s/d 16.
Kode etik Profesi Kepolisian (KEP. Kapolri No. : KEP/01/VII/ 2003) yang baru ini lebih operasional dibanding dengan Kode Etik Profesi sebelumnya (Kep Kapolri No. : Kep/04/III/2001 dan Kep/05/III/2001) , hal ini dikarenakan pada Kode Etik Profesi Kepolisian yang baru masing-masing bentuk etika (Pengabdian, Kelembagaan dan Kenegaraan) diatur perilaku-perilaku yang Etis dan yang tidak Etis lebih rinci, sehingga ada batasan jelas yang dibakukan, selain itu juga diatur pula bentuk sanksinya dan cara penegakannya.
E.BAGAIMANA KINERJA KEPOLISIAN DALAM HAL PELAKSANAAN TUGAS SEBAGAI PELYAN MSAYARAKAT,PENEGAK HUKUM DAN PEMBINAAN KEAMANAN DAM=N KETERTIBAN MASYARAKAT
Seiring dengan reformasi nasional pada tahun 1998, Polri dipisah dengan TNI. Selanjutnya Polri berbenah diri dan melakukan reformasi internal. Keluarnya Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I. telah menegaskan bahwa Kepolisian Negara R.I. merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 (1) UU No. 2/2002).  Reformasi telah berjalan kurang lebih tujuh tahun, dan UU No. 2/2002 telah berlaku hampir 4 tahun.Masyarakat sangat mengharapkan agar Polri dapat mengubah diri dan melaksanakan apa yang menjadi peran dan tugas pokoknya dengan baik.
Pandangan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Kinerja Polri dari hari ke hari telah menampakkan kemajuan yang berarti walaupun belum dapat memenuhi harapan masyarakat. Banyak prestasi yang telah dicapai oleh Polri dalam menemukan penjahat dalam waktu yang relatif tidak lama. Namun, juga masih banyak harapan masyarakat akan dapat ditangkapnya para koruptor besar yang sampai saat ini belum berhasil ditangkap. Keberhasilan Polri melumpuhkan komplotan teroris di Batu-Malang (Jawa Timur) dan menewaskan Dr. Azahari sangat menggembirakan masyarakat. Juga ditemukannya sejumlah bahan peledak dan bom rakitan seperti di Ngebel-Ponorogo dan Bojonegoro, Jawa Timur (Kompas, 12-13 Nov. 2005). Polri pula yang berhasil membongkar dan menangkap produsen Narkoba. Dalam penggrebekannya di desa Cemplang-Serang (Banten) itu Polri menangkap 13 tersangka pelaku termasuk pemilik pabrik, serta menyita sejumlah barang bukti (Republika, 12 Nov. 2005). Konon, pabrik Narkoba itu merupakan terbesar ketiga di dunia dengan omset mencapai kurang lebih satu triliun rupiah setiap minggu (Pelita, 15 Nov. 2005). Keberhasilan-keberhasilan itu diakui oleh masyarakat sebagai prestasi Polri yang membanggakan dan pantas mendapat pujian.
Namun, harus diakui juga bahwa harapan masyarakat untuk memiliki polisi yang benar-benar baik dan bersih masih belum menjadi kenyataan. Masih banyak oknum polisi yang melakukan pelanggaran etika kepolisian, memeras, bahkan melakukan kejahatan Narkoba, penadah perampasan taksi seeperti belum lama berselang (Kompas, 17 Nov. 2005). Masih banyak lagi kejadian kejahatan yang melibatkan polisi dan sering dapat dibaca atau ditonton dalam berita di media massa. Masyarakat juga banyak bergonjing tentang adanya polisi yang menghentikan kendaraan truk terutama di luar kota di mana pengemudinya sudah menyiapkan kotak korek api untuk diberikan kepada oknum polisi itu. Tentu saja kotak itu tidak berisi korek api karena bukan itu yang diminta oleh polisi. Pengurusan Surat Ijin Mengemudi dan surat-surat lainnyapun menjadi “ladang” yang subur bagi pemasukan uang bagi polisi (Indo Pos, 15 Nov. 2005). Masih banyak lagi “ladang” lainnya yang dapat menjadi tempat korupsi polisi, tetapi bukan terhadap uang negara. Korupsi itu korupsi terhadap uang masyarakat secara perseorangan. Hal itu sulit dibuktikan, namun bagi masyarakat dianggapnya bukan rahasia lagi. Hal ini menyebabkan masyarakat belum merasa “menjadi satu” sebagai mitra polisi, pada hal perkara ini sangat penting dalam mendukung tugas polisi. Masyarakat masih takut atau segan berhubungan dengan polisi karena berbagai sebab yang pada umumnya takut “kehilangan” uang. Menjadi saksipun kalau bisa dihindari, demikian pula melaporkan kejadian kehilangan barangnya saja masih ada yang tidak merasa perlu karena pesimis akan manfaatnya, dan bisa jadi ujung-ujungnya akan “kehilangan” uang.
Di samping banyak “ladang” untuk korupsi dari uang masyarakat secara perseorangan, ada pula korupsi dari intern tubuh Polri sendiri tetapi juga bukan terkait dengan uang negara. Ini juga sulit dibuktikan karena yang bersangkutan menganggap pengeluaran uang itu demi melicinkan kepentingannya, misalnya masuk pendidikan jenjang, kenaikan pangkat, jabatan dan sebagainya. Walaupun berulang kali Kapolri atau Kapolda menegaskan tidak ada pungutan uang untuk masuk pendidikan atau kenaikan pangkat, namun dalam kenyataannya masih berlangsung terus. Tentu saja hal ini tidak akan diketahui oleh Kapolri atau Kapolda. Masyarakat juga tahu kalau di lingkungan organisasi Polri ada “wajib setor”. Hal itu akan berdampak luas, antara lain timbulnya kecenderungan melakukan penekanan dan pemerasan untuk mencapai target setoran. Belum lagi berbicara tentang adanya “beking” terhadap cukong dan suap. Bukankah ada oknum polisi yang melakukannya dari skala kecil sampai yang besar. Mungkin dengan alasan gaji kurang. Memang, hal itu bisa dimengerti, tetapi jika penyimpangan-penyimpangan itu berjalan terus maka resikonya negeri ini akan semakin keropos dan lemah. Apabila penyimpangan-penyimpangan dibiarkan, maka yang salah itu bisa dianggap benar. Kalau hal itu berlangsung terus berarti merupakan banalisasi yang menganggap penyimpangan merupakan hal yang biasa/seolah-olah yang salah itu benar.
Perilaku menyimpang polisi disebabkan oleh banyak faktor, antara lain pengaruh lingkungan yang mengakibatkan ingin menjalani gaya hidup hedonisme, gaji yang relatif kurang, sikap mental yang buruk, dan diberikannya kekuasaan polisi oleh hukum untuk mengambil tindakan dalam situasi tertentu menurut “pertimbangan sendiri” atau disebut kekuasaan diskresi-fungsional yang menempatkan pribadi-pribadi polisi sebagai faktor sentral dalam penegakan hukum (TB. Ronny Nitibaskara, 2001: 29). Jadi, diskresi merupakan kebijakan, keleluasaan atau kemampuan untuk memilih rencana kabijakan atau mempertimbangkan bagi diri sendiri atau suatau kebijakan berdasarkan keleluasaannya untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya. Oleh karena itu, diskresi tidak terlepas dari ketentuan hukum, artinya diskresi itu dilakukan dalam kerangka hukum (Warsito Hadi Utomo, 2005: 106).
Dari pengertian di atas itulah, maka pribadi-pribadi polisi mendapat peran yang sangat penting dan sentral dalam penegakan hukum. Polisi merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan tegaknya hukum. Namun, jika polisi tidak memiliki integritas moral yang tinggi dan kuat, maka dengan kekuasaan diskresi-fungsional tersebut justru memberi peluang untuk menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan pribadinya sendiri yang tidak untuk tegaknya hukum dan keadilan dengan melakukan tindakan yang bernuansa pemerasan atau intimidasi ataupun rekayasa dan kolusi dalam penanganan suatu perkara.
Untuk mencegah digunakannya kekuasaan diskresi-fungsional yang tidak proporsional, maka masalah peningkatan moral, etika dan berfungsinya hati nurani menjadi sangat penting. Moral dan etika akan menjadi pendorong untuk menjadi polisi yang baik, yang menuntun sikap, tindakan, dan perilaku polisi. Moralitas adalah norma atau standard tingkah laku manusia yang didasarkan atas pertimbangan benar-salah, dan baik-buruk. Etika merupakan nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya (Barten, 1994: 6). Menghidupkan berfungsinya hati nuarani juga sangat penting karena sesungguhnya hati nurani tidak pernah bohong. Hati nurani yang sensitif (tidak tumpul) dapat mengarahkan pada hal-hal yang baik dan terpuji.
Pentingnya peningkatan moral dan etika serta mensensitifkan hati nurani itu juga berkaitan dengan prinsip bahwa “yang legal belum tentu bermoral.” Kalau berdasarkan legal saja maka seperti jawaban Eichman (Nazi Jerman) ketika dalam proses peradilan ditanya” mengapa dia tega membunuh puluhan ribu manusia” yang dengan entengnya dijawabnya “saya tidak bersalah karena saya taat”. Orang yang berpikir hanya berdasar legalitas saja akan cenderung seperti Machiavellis yang berprinsip “tujuan menghalalkan cara” yang menumpulkan hati nurani. Di samping itu, ada masalah keseharian polisi yaitu persoalan menggunakan hukum. Apabila hukum digunakan oleh polisi secara semestinya niscaya kedilan akan mendukung terwujudnya keadilan dan citra polisi akan membaik. Mungkin ada aturan hukum yang tidak sempurna, tetapi akan menciptakan kebaikan jika penegak hukumnya baik. Sebaliknya, hukum yang baik tidak menjamin akan terciptanya keadilan, keteriban atau kebaikan jika aparat penegak hukumnya buruk. Disini lagi menunjukkan pentingnya moral, etika dan hati nurani diketengahkan.
Sikap dan perilaku anggota Polri terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara R.I. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya anggota Polri harus dapat mencerminkan kepribadian Bhayangkara Negara seutuhnya. Anggota Polri juga harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya seperti dirumuskan dalam Kode Etiknya yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila (Kansil, 2003: 152-153). Kode Etik tersebut bukan hanya untuk dihafalkan tetapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam melaksanakan tugasnya.
Masalah lain adalah perlu ditegaskan dan ditegakkannya lagi pertanggung jawaban Kepolisian, artinya setiap anggota polisi yang melakukan kesalahan baik secara sengaja maupun tidak sengaja (lalai) harus menanggung kesalahannya dengan memberikan pertanggung jawaban atas tindakannya yang bisa dikatagorikan tidak sah. Dalam kaitan ini, Warsito Hadi Utomo (2005: 105) menyimpulkan rumusan tindakan seseorang petugas polisi yang dapat dianggap tidak sah, seperti berikut:
  1. Melanggar hukum, baik yang berlaku umum maupun yang berlaku khusus, misalnya melakukan pemeriksaan kendaraan di jalan umum yang ada larangan dari dinas.
  2. Tanpa dasar hukum baik berupa tindakan tanpa hak dan wewenang, misalnya memaksa seseorang membayar hutangnya, maupun tindakan melampaui batas-batas wewenang, misalnya memborgol tersangka yang lemah badannya.
  3. Mempunyai pertimbangan-pertimbangan di luar persoalan, misalnya mengulur-ulur pemeriksaan tersangka bukan karena kurang alat bukti tetapi karena sikap tersangka yang tidak sopan.
  4. Ingin mencapai tujuan lain, misalnya menahan Surat Ijin Mengemudi agar mendapat uang tebusan
  5. Sewenang-wenang.
  6. Melanggar kesusilaan, misalnya menggeledah badan sambil meraba-raba bagian terlarang.
  7. Tidak hati-hati, misalnya menggeledah rumah begitu rupa sehingga ada barang-barang yang menjadi rusak.
Menurut Warsito, dalam praktek masih banyak terjadi tindakan-tindakan petugas polisi yang dapat digolongkan dalam salah satu atau lebih katagori tersebut di atas. Itu akan membawa kerugian manusia, masyarakat atau negara. Hal itu juga akan merugikan citra Kepolisian. Pendapat itu memang benar dan nampaknya hal-hal seperti itu kurang mendapat perhatian dari pejabat yang membawahi anggota yang melakukan tindakan tidak sah itu.
Dilihat dari kaca mata tugas pokok Polri, maka kinerja Polri juga masih belum memenuhi harapan masyarakat. Menurut UU No. 2 Tahun 2002 dalam pasal 13 dinyatakan tugas pokok Kepolisian Negara R.I adalah:
• Memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat
• Menegakkan hukum, dan
• Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Berangkat dari tugas pokok tersebut dapat dilihat secara garis besar seberapa jauhkinerja Polri dapat dicapai.
Pertama, dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara umum tugas ini masih jauh dari harapan. Dapat dimengerti adanya kekurangan personil, anggaran, dan peralatan. Namun, nampaknya perlu dicari pola-pola yang inovatif dalam pelaksanaannya, agar tidak monoton dan bersifat tradisional belaka. Sangat dirasakan oleh masyarakat kurangnya rasa aman dan tertib disemua tempat karena kejahatan semakin brutal sementara aparat kemanan tidak mengimbanginya dengan sistem keamanan secara menyeluruh. Yang dapat dilihat dan dirasakan antara lain kurang tegasnya polisi, kurang konsisten dan konsekwennya dalam pencegahan dan penindakan. Operasi Kepolisian sering hanya bersifat sporadis. Akibatnya pelanggar hanya mereda beberapa saat dan di wilayah tertentu saja, sementara jika pelanggaran dan kejahatan sudah meningkat lagi baru diadakan operasi lagi dan terbatas pula. Di bidang lalu lintas juga sangat tidak tertib, misalnya di Jakarta sendiri. Mungkin lalu lintas di kota ini yang paling semrawut di dunia. Untuk mengatasi hal ini perlu adanya keterpaduan dari semua instansi yang terkait.
Kedua, dalam penegakan hukum. Secara umum mengalami kemajuan, namun masih perlu peningkatan kinerja secara sungguh-sungguh,utamanya perkara yang menjadi sorotan masyarakat adalah tentang penanganan koruptor dan hal-hal lain yang menyangkut banyak merugikan negara. Di tubuh Polri sendiri harus ada konsistensi dan transparansi dalam pemberantasan korupsi jika Polri ingin mendapat dukungan masyarakat dan memiliki citra yang baik. Pemberantasan korupsi di tubuh Polri dan pemberantasan perjudian adalah merupakan point of no return, apabila Polri konsisten dengan reformasi internalnya. Masyarakat sangat berharap akan keberlanjutan penanganan masalah tersebut walaupun sudah pasti banyak korban dan resistensi baik dari dalam tubuh Polri sendiri maupun orang luar yang mempunyai kepentingan tertentu.Terkadang juga ada kasus berat namun hanya dapat terungkap kalau ada pejabat penting yang turun tangan. Faktanya memang menunjukkan adanya fenomena seperti itu.
Ketiga, dalam perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam bidang inipun masih jauh dari harapan masyarakat. Masyarakat pada umumnya belum merasa terlindungi secara baik, belum merasa diayomi, dan belum merasa dilayani dengan baik oleh Polri. Oleh karena itu, perlu peningkatan sikap, perilaku, dan tindakan yang lebih baik, lebih proaktif dengan benar-benar setiap anggota Polri menempatkan diri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Merubah kultur ke arah demikian memang tidak mudah dan tidak bisa dalam waktu singkat. Namun, perlu kesungguhan, konsistensi, dan keberlanjutan dari semua lapisan organisasi Polri. Untuk masalah ini, yang sangat diperlukan adalah teladan dari setiap atasan. Pengawasan yang ketat dan berlanjut dari setiap atasan akan lebih memacu keberhasilan Polri.
F .LANGKAH APA SAAJA YANG TELAH DILAKUKAN OLEH PIHAK KEPOLISIAN MENUJU TECAPAINYA PROFESINALISME
Untuk mewujudkan tugas pokok tersebut tentunya perlu dukungan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum adalah sangat penting. Partisipasi itu bisa terwujud apabila masyarakat merasa memiliki dan mencintai Polri. Hal itu bisa terwujud jika Polri dapat merebut hati masyarakat, dekat dengan masyarakat dengan menunjukkan sikap, perilaku, dan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Pengungkapan masalah-masalah tersebut di atas mungkin dirasakan “pahit” bagi Polri, tetapi kebanyakan obat adalah pahit. Anggaplah itu sebagai obat yang pahit yang perlu bagi polisi untuk memperbaiki diri. Yang jelas pengungkapan ini tidak bermaksud memojokkan Polri, tetapi didasari oleh kecintaan pada Polri dan keinginan memiliki polisi sipil yang bersih, berwibawa, bermartabat dan bermoral, yang benar-benar dapat menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang baik. Di negara manapun, keinginan masyarakat adalah seperti itu.
Harapan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Harapan masyarakat sudah banyak disebutkan pada perbincangan sebelumnya, yang pada intinya masyarakat ingin agar Polri dapat mewujudkan tugas pokoknya dengan baik, yang dilandasi oleh moralitas, profesionalisme sebagai polisi sipil, dan memiliki kedekatan dengan rakyat yang positif. Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan. Untuk itu, setiap anggota Polri juga harus memperhatikan beberapa hal, yaitu:
  1. Mengenal diri, artinya tahu dan paham, dan menghayati benar siapa dirinya (sebagai anggota polisi sipil), paham dan menghayati tugasnya dan bagaiman melakukan tugas dengan baik, serta memahami apa yang menjadi keharusan dan larangannya.
  2. Integritas pribadi, artinya bersikap jujur, adil, dan amanah dalam melakukan tugas.
  3. Pengendalian diri, yang berarti dapat menunda gratifikasi dan bertindak secara proporsional serta tidak emosional.
  4. Komitmen dan konsistensi, artinya memiliki tekad yang kuat untuk menjadi polisi yang baik sebagai pelindung, pengayom,dan pelayan masyarakat.
  5. Kepercayaan diri, artinya dalam melaksanakan tugas tidak bersikap ragu-ragu, tegas tetapi tetap terukur dan tetap sopan santun.
  6. Fleksibel, berarti tidak bersifat kaku dalam bertindak.
Di samping itu, perlu diperhatikan bahwa masyarakat berharap Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak berpolitik praktis seperti ditegaskan dalam pasal 28 Undang-Undang tentang Kepolisian Negara R.I. Jangan lagi karena kepentingan sesaat Polri terlibat dalam politik praktis seperti dalam kampanye dengan memobolisasi para purnawirawannya, karena jika hal itu terjadi akan merugikan Polri dan menjauhkan Polri dari masyarakat yang sangat majemuk dan bermacam paham politik.
BAB III
PENUTUP
A.SIMPULAN
Dengan reformasi internalnya, Polri sudah mengalami kemajuan untuk menjadi polisi sipil bagi mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum dan perlindungan, pengayom, dan pelayan masyarakat. Namun, apa yang dicapai itu masih jauh dari harapan masyarakat yang menginginkan memiliki polisi sipil yang handal, bermoral, profesional, dan sebagai pelayan masyarakat, yang dicintai dan didukung masyarakat, serta menjadi kebanggaan rakyat.
Peningkatan moralitas, etika, dan mensensitifkan hati nurani menjadi kunci pokok dalam mewujudkan harapan masyarakat. Untuk itu, setiap anggota Polri perlu bertanya pada diri sendiri “sudah patutkah saya menjadi polisi harapan masyarakat?” Bertanyalah pada hati nurani sendiri, seandainya saya anggota masyarakat biasa, apa harapan anda kepada Polri? Sudah memadaikah apa yang saya lakukan selama ini? Hal-hal seperti itu perlu dilakukan agar perilaku dan kinerja polisi tidak jauh berbeda dengan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap Polri.
Sebab, membangun wacana ini dalam masyarakat yang masih bersikap reaktif emosional, peran pengemban profesi hukum yang profesional dan proporsional akan sangat menentukan. Jika tidak mampu mencitrakan diri dan jati dirinya, masyarakat akan terpengaruh untuk tidak patuh dan taat akan hukum. Karena yangkita perlukan adalah para pengemban profesi hukum yang bisa memerankan unsure idealisme dan realistisnya dalam mengaplikasikan setiap kinerjanya, sehingga segala bentuk harapan dan kenyataan akan antara moral dan pengabdian dalam kode etik profesi hukum akan terwujud dengan sendirinya
B.SARAN
Bagi Polri, memenuhi harapan masyarakat yang begitu banyak dan beraneka ragam kepentingan dan kebutuhan bukanlah hal yang mudah, apalagi jika dikaitkan dengan keterbatasan personil, anggaran, dan peralatan yang dimiliki Polri. Namun, mewujudkan harapan itu bukan sesuatu yang mustahil, tergantung pada niat yang kuat dan tulus. Perwujudan harapan itu harus dilakukan dari dua arah baik dari Polri maupun dari masyarakat sendiri. Yang perlu digarap lebih dulu adalah bagaimana menciptakan kondisi dari dua pihak itu untuk menuju ke arah harapan itu.
Begitu juga kami dalam memenuhi keinginan para pembaca makalah ini,masih terdapat ragam kekurang sempurnaan,apabila dikaitkan juga dengan keterbatasan kempuan penulis.Sehingga penulis tidak menutup diri dari masukan pembaca guna untuk memperoleh kesempurnaan dalam penulisan makalah ini.
PUSTAKA
Drs. A.M. Fatwa, Wakil Ketua MPR RI.Profesionalisme Polri..22 November 2005.Jakarta
Anang Usman, SH, MSi. Kaur Penerapan Hukum dan Undang Undang Bidang Pembinaan Hukum Polda Jawa Barat, Dosen Unpas, Unpad dan STIA Al Jawami.
Prof. Mardjono Reksodiputro dengan judul “Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri” dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (KIK-UI)